Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak berwenang mengadili permohonan pengujian materiil Akta Persetujuan dan Kuasa. Menurut Mahkamah, permohonan Pemohon bukanlah permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana kewenangan MK dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan uji materiil Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang digelar pada Selasa (20/3) di Ruang Sidang Pleno MK. “Oleh karena itu, Mahkamah tidak berwenang mengadili perkara a quo,” ucap Wakil MK Anwar membacakan perkara yang teregistrasi Nomor 11/PUU-XVI/2018.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan menguji Akta Persetujuan dan Kuasa, yang konstruksi hukumnya bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak dan asas konstitusionalitas, yakni Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pemberlakuan akta-akta tersebut dapat dipersamakan dengan UU sebagaimana UU pada umumnya dengan argumentasi bahwa prinsip Pasal 1338 KUHP adalah “semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan UU yang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Pemohon juga mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya Akta Persetujuan dan Kuasayang dibuat oleh notaris dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon yang merupakan anak kandung dari perkawinan Soeprapti dengan Max Susanto adalah ahli waris sah yang berhak atas sejumlah harta peninggalan orang tuanya. Namun demikian, telah terjadi penyalahgunaan dan manipulasi oleh saudara kandung Pemohon untuk memperoleh harta warisan. Penyalahgunaan tersebut, menurut Pemohon, terjadi sebagai akibat perbedaan penerapan antara Akta Persetujuan dan Kuasa dengan KUH Perdata.
Menurut Mahkamah, lanjut Anwar, Akta Persetujuan dan Kuasa tidak termasuk dalam kualifikasi UU dalam arti sebenarnya, baik proses maupun kekuatan mengikatnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 20 UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, menurut Mahkamah sebuah perjanjian atau kesepakatan bersama sebagaimana didalilkan para Pemohon tersebut hanya dibuat oleh para pihak yang bersifat privat. “Sehingga sangat berbeda dengan bentuk dan proses pembentukan undang-undang,” tandas Anwar membacakan putusan permohonan yang diajukan Haryanti Sutanto dan Victorina Arif tersebut. (Sri Pujianti/LA)