Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang (UU Ormas) memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum terhadap organisasi masyarakat. Demikian disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan dalam sidang lanjutan UU Ormas, Selasa (6/3) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya mewakili DPR, Arteria memaparkan UU Ormas tetap memberikan perlindungan kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat bagi masyarakat. Hal ini, sambungnya, karena UU a quo merupakan pengejawantahan dari Pasal 28 UUD 1945.
“Atas dasar Pasal 28 UUD 1945 tersebut dibentuklah UU Ormas untuk menjabarkan jaminan perlindungan dan kepastian hukum terhadap semua ormas dalam menjalankan organisasinya harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945,” papar Arteria menanggapi permohonan yang diajukan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Yayasan Forum Silaturahmi Antar-Pengajian Indonesia, Perkumpulan Hidayatullah tersebut.
Selanjutnya, Arteria menyebut UU Ormas tetap mengakomodasi keberadaan mekanisme review atau pengujian keputusan pencabutan status badan hukum atau keterangan terdaftar dari sebuah organisasi masyarakat. Ia menjelaskan dalam mencabut badan hukum sebuah ormas yang menyimpang, pemerintah harus memenuhi kualifikasi yang tercantum dalam UU Ormas. Menurutnya, hal ini membuktikan asumsi Pemohon yang menyebut pemerintah mencabut badan hukum sebuah ormas hanya berdasarkan kesewenang-wenangan, tidaklah benar.
“Proses pengambilan keputusan untuk mencabut status badan hukum atau keterangan terdaftar dari sebuah ormas, didasarkan pada kualifikasi yang diuraikan dalam UU Ormas sehingga kurang tepat jika kemudian keputusan menjatuhkan sanksi pembubaran tersebut diasumsikan para Pemohon sebagai sebuah keputusan yang hanya disandarkan diskresi individual ataupun penilaian pribadi,” terang Arteria di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Sesuai Fakta
Pada kesempatan yang sama, hadir pula Yayasan Penanganan Hukum Indonesia dan LBH Pembela Pancasila selaku Pihak Terkait permohonan Nomor 2/PUU-XVI/2018 tersebut. Pitri Indrianingtyas mewakili Yayasan Penanganan Hukum Indonesia membantah dalil Pemohon yang menyebut penjatuhan sanksi terhadap ormas hanya berdasarkan subjektivitas. Ia menilai penjatuhan sanksi berupa keputusan pencabutan status badan hukum oleh Pemerintah dengan menggunakan asas contrarius actustelah dilakukan berdasarkan pada fakta-fakta dan dasar pertimbangan hukum cukup beralasan. “Jadi, hal tersebut sama sekali tidak menghilangkan kewenangan pengadilan dan tata tata usaha negara untuk menguji keabsahan dari keputusan tersebut,” ujar Pitri.
Sementara itu, LBH Pembela Pancasila yang diwakili Teddi Andriansyah menjabarkan bahwa tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan secara langsung dengan terbitnya UU Ormas. Ia menambahkan jika Pemohon hendak membuat suatu ormas ataupun telah menjadi pengurus suatu badan hukum yang berbentuk perkumpulan, tidak dilarang apabila asas dan kegiatannya bersesuaian dengan Pancasila dan UUD 1945.
Selain itu, Teddi menegaskanUU Ormas sangat terang tidak mengesampingkan due process of law. “Justru lebih menerapkan sanksi tegas terhadap ormas yang asas dan kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,” jelas Teddi.
Selain itu, Teddi menilai dasar terbitnya UU Ormas sudah sangat jelas, yakni guna melindungi kedaultan NKRI karena negara berkewajiban menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Adapun secara substansial, lanjutnya, UU Ormas pun telah memenuhi kriteria pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Sedangkan pada frasa “atau paham lain” dalam UU Ormas, Teddi menilai secara teoretis hal tersebut telah benar dan mutlak diperlukan sebagaimana terminologi hukum. “Guna mengantisipasi perkembangan sosiologis masyarakat, baik secara nasional dan global yang pahamnya juga dapat berkembang tidak terkendali dan mendestruksi tegaknya kedaulatan negara dan terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa pada masa mendatang,” terangnya.
Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan UU Ormas dinilai mengancam kemerdekaan dalam berkumpul, berserikat, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hari nurani karena menghilangkan peranan pengadilan dalam menjatuhkan sanksi terhadap ormas. Untuk itu, Pemohon meminta pembatalan keberlakuan Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 62 ayat (3), dan Pasal 80A UU Ormas yang baru disahkan menjadi undang-undang pada Oktober lalu.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Arief menyampaikan sidang berikutnya akan digelar pada Selasa, 20 Maret 2018 pada pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari Pemohon, ahli dari Pemerintah, dan ahli dari Pihak Terkait. (Sri Pujianti/LA)