Permohonan uji materiil Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria) ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan Nomor 101/PUU-XV/2017 ini dibacakan di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (12/2). MK menilai norma tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena hal yang dipersoalkan Pemohon adalah perihal penerapan UU dan bukan masalah konstitusional UU.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang putusan terhadap perkara yang teregistrasi nomor.
Oltje J.K. Pesik selaku Pemohon mendalilkan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UU Agraria dinilai berpotensi merugikan hak konstitusionalnya. Pemohon menyampaikan frasa “... karena hukum ...” dan “... perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik ...” pada kedua pasal tersebut multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi warga negara atau Pemohon yang mencari kebenaran hukum di Pengadilan Agama Cibadak, Pengadilan Tinggi Agama Bandung, dan Mahkamah Agung Bidang Agama. Ia menilai frasa tersebut juga secara tidak langsung memindahkan hak milik Pemohon kepada orang asing. Menurut Pemohon, frasa tersebut menimbulkan persoalan konstitusionalitas karena yang dimaksud dengan frasa “karena hukum” itu secara serta merta berlaku tanpa proses hukum lagi.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, Mahkamah berpendapat persoalan yang oleh Pemohon dianggap sebagai persoalan konstitusionalitas norma UU, sesungguhnya merupakan persoalan penerapan undang-undang. Persoalan konkrit tersebut, yaitu gagalnya Pemohon mendaftarkan hak atas tanah karena adanya Putusan Pengadilan Agama Cibadak Nomor101/Pdt.G/PA.Cbd, bertanggal 26 Februari 2008; Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor 89/Pdt.G/2008/PTA.Bdg, bertanggal 30 Oktober 2008; dan Putusan Mahkamah Agung Hakim Agama Nomor 336/K/AG/2009, bertanggal 17 Juli 2009. “Terhadap peristiwa konkrit demikian Mahkamah tidak berwenang untuk menilainya,” ujar Manahan.
Manahan melanjutkan terlepas dari tidak adanya argumentasi yang dibangun Pemohon dalil Pemohon yang menganggap frasa “karena hukum” dalam Pasal 21 ayat (3) dan dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA menimbulkan multitafsir, Mahkamah berpendapat bahwa, untuk mendukung dalil tersebut, frasa “karena hukum” –yang sama artinya dengan “demi hukum” – dalam kedua Pasal UUPA tersebut telah jelas. Frasa demi hukum, yang dalam istilah Latin disebut “ipso jure” (atau “by law” dalam Bahasa Inggris) adalah frasa yang telah lazim diterapkan secara universal untuk menunjukkan hukum memerintahkan demikian adanya sehingga tidak mungkin ditafsirkan lain.
Adapun terhadap dalil frasa “karena hukum” dalam Pasal 21 ayat (3) UU Agraria yang dinilainya multitafsir, Mahkamah berpendapat frasa tersebut sama artinya dengan “demi hukum”. Dalam hubungannya dengan pasal a quo, lanjut Manahan, apabila ada orang asing setelah berlakunya UU a quo memeroleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula sifat keberlakuannya terhadap WNI, yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UU a quo kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak atau kewarganegaraannya. “Jadi, jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus “karena hukum memerintahkan demikian” dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung,” jelas Manahan.
Selanjutnya, terhadap dalil yang menganggap frasa “perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik” pada Pasal 26 ayat (2) UU Agraria, Manahan menegaskan hal tersebut telah jelas konteksnya. Sebab, secara a contrario norma tersebut sesungguhnya melarang dilakukannya jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan lain yang dimaksud untuk ‘langsung’ dan ‘tidak langsung’ memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga yang di samping kewarganegaraan Indonesia-nya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada badan hukum, kecuali yang ditetapkan Pemerintah dalam Pasal 21 ayat (2) UU Agraria.
Selain pertimbangan tersebut, Manahan menyebutkan bahwa Mahkamah berpendapat permohonan a quo dapat dikatakan kabur. Sebab, dalam petitum-nya Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan norma a quo bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan di lain pihak Pemohon menyatakan norma a quo bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘karena hukum adalah terjadi secara serta-merta tanpa harus melalui suatu proses’ sehingga Pemohon memohonkan agar norma a quo dinyatakan inkonstitusional bersyarat. “Dengan demikian, menjadi tidak jelas apa sesungguhnya yang dikehendaki Pemohon, apakah pasal-pasal a quo inkonstitusional atau inkonstitusional bersyarat,” tegas Manahan. (Sri Pujianti/LA)