Dua pemohon perseorangan menguji secara materiil Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Haryanti Sutanto dan Victorina Arif yang merupakan ahli waris satu keluarga, tercatat sebagai Pemohon perkara Nomor 11/PUU-XVI/2018 yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (21/2) siang.
Melalui JJ. Amstrong Sembiring selaku kuasa hukum, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya “Akta Persetujuan dan Kuasa, berikut Pernyataan Kesepakatan Bersama” yang dibuat oleh notaris dan dianggap multitafsir. Pemohon yang merupakan anak kandung dari perkawinan Soeprapti dengan Max Susanto adalah ahli waris sah yang berhak atas sejumlah harta peninggalan orang tuanya. Namun demikian, lanjut Amstrong, telah terjadi penyalahgunaan dan manipulasi “Akta Persetujuan dan Kuasa, berikut Pernyataan Kesepakatan Bersama” oleh saudara kandung Pemohon untuk memperoleh harta warisan. Penyalahgunaan tersebut, menurut Pemohon, terjadi sebagai akibat perbedaan penerapan antara “Akta Persetujuan dan Kuasa, berikut Pernyataan Kesepakatan Bersama” dengan KUH Perdata.
”Jadi, hak bagian mutlak waris adalah hal yang ingin ditekankan dalam permohonan ini. KUH Perdata adalah UU dan dalam konteksnya hak bagian waris,” urai Amstrong Sembiring di hadapan panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra.
Untuk itu, Pemohon dalam petitum, mendalilkan “Akta Persetujuan dan Kuasa, berikut Pernyataan Kesepakatan Bersama” tidak boleh bertentangan dengan KUH Perdata. Pemohon menilai pemberlakukan aturan tersebut yang tidak rasional dan penuh manipulatif terhadap hak bagian mutlak waris Pemohon yang tentunya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945.
Perjelas Kerugian
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mempertanyakan tidak disebutkannya bagian dari pasal dan ayat pada KUH Perdata yang merugikan hak konstitusional Pemohon. “Alasannya lebih banyak pada kasus konkret, sementara kewenangan MK adalah pengujian normanya. Jadi, perlu penyempurnaan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma,” saran Wahiduddin.
Demikian juga halnya dengan Hakim Konstitusi Saldi Isra yang meminta Pemohon untuk melakukan penyesuaian permohonan dengan ketentuan MK. “Bukan hanya isu kasus hukumnya. Kira-kira Pemohon mengalami kerugian dari pasal berapa dari KUH Perdata itu? Lalu, pasal itu diuji ke UUD 1945,” terang Saldi. Selain itu, Saldi pun menekankan perlunya Pemohon untuk menyempurnakan posita yang erat kaitannya dengan petitum Pemohon.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan Pemohon untuk mempertegas kerugian konstitusional atas berlakunya norma dan tidak mengutamakan kronologi implementasi dari berlakunya norma. “Misalnya Pasal 913 atau 914 KUH Perdata yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Maka, ini baru bisa sah diujikan ke MK. Bukan masalah Akta-nya. Karena kalau masalah itu, Mahkamah tidak bisa mengujinya,” jelas Suhartoyo.
Sebelum menutup agenda persidangan, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengingatkan Pemohon untuk menyerahkan perbaikan Permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 6 Maret 2018 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK untuk kemudian diagendakan sidang berikutnya. (Sri Pujianti/LA)