Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan hak angket DPR terhadap KPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 79 ayat (3) UU Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) terbatas pada pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK. Pelaksanaan tugas dan kewenangan yang dimaksud, selain pelaksanaan tugas dan kewenangan yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan yudisial KPK, yakni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Demikian Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya pada Kamis (8/2) di Ruang Sidang Pleno MK. \"Dalam Provisi, menolak permohonan provisi para Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, menolak permohonan para Pemohon,\" ucap Arief.
Dalam permohonannya, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi(FKHK)dan beberapa Pemohon perseorangan merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 79 ayat (3) UU MD3. Para Pemohon menyoal Pasal 79 ayat (3) UU MD3. Pasal a quo menyatakan, “3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.
Pemohon menganggap Pasal 79 ayat (3) UU MD 3 dinilai mengandung ketidakjelasan rumusan atau multitafsir sehingga tidak memenuhi asas kejelasan rumusan serta kepastian hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal ini berimplikasi timbulnya beberapa penafsiran berbeda dan berakibat pada kekeliruan DPR dalam menggunakan hak angket terhadap KPK. DPR menafsirkan pasal tersebut dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum khususnya KPK telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pemohon menilai tindakan DPR tersebut merupakan langkah politik yang digunakan untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Tindakan tersebut dilakukan bersamaan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK terhadap beberapa kasus yang diduga melibatkan anggota DPR, di antaranya perkara e-KTP yang saat ini sedang diperiksa oleh KPK.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Mahkamah menerangkan KPK merupakan lembaga yang berada di ranah eksekutif yang melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sejatinya merupakan kewenangan Kepolisian dan/atau Kejaksaan. Bahkan, lanjutnya, dengan mengingat fungsi KPK sebagai lembaga khusus untuk mendorong agar pemberantasan korupsi dapat berjalan secara efektif, efisien, dan optimal, maka dapat disimpulkan dengan sendirinya bahwa KPK dapat menjadi objek dari hak angket DPR dalam fungsi pengawasannya.
\"Dengan demikian, dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, DPR dapat menggunakan hak-hak konstitusionalnya termasuk hak angket terhadap KPK hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK selain pelaksanaan tugas dan kewenangan yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan yudisialnya (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan),\" terangnya.
Posisi KPK, lanjut Manahan, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tercantum dalam Konsiderans Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Konsiderans tersebut menyatakan “bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”. Berpijak dari Konsiderans tersebut, yang dimaksud sebagai lembaga pemerintah yang dalam hal ini menangani perkara tindak pidana korupsi ialah Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini dapat diketahui dengan mengingat bahwa tugas penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi merupakan kewenangan Kepolisian dan/atau Kejaksaan.
“Dengan demikian, dasar pembentukan KPK ialah karena belum optimalnya lembaga negara in casu Kepolisian dan Kejaksaan yang mengalami public distrust dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, dibentuklah KPK. Dalam konstruksi demikian, secara tugas dan fungsi, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK merupakan lembaga yang berada di ranah eksekutif,” paparnya.
Lebih lanjut, Manahan memaparkan KPK merupakan lembaga penunjang yang terpisah atau bahkan independen, dari departemen eksekutif, akan tetapi sebenarnya “eksekutif”. Dalam pandangan Mahkamah, jelasnya, KPK sebenarnya merupakan lembaga di ranah eksekutif, yang melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif, yakni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Secara jelas, KPK juga bukan di ranah yudikatif, karena bukan badan pengadilan yang berwenang mengadili dan memutus perkara. Lainnya, KPK juga bukan badan legislatif, karena bukan organ pembentuk undang-undang.
“Benar bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Posisinya yang berada di ranah eksekutif, tidak berarti membuat KPK tidak independen dan terbebas dari pengaruh manapun. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 pada halaman 269 dinyatakan, independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan manapun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,” tandas Manahan.
Sedangkan terkait konstitusionalitas Pasal 79 ayat 3 UU MD3, Manahan menjelaskan secara substantif, norma yang mengatur hak angket dalam UU MD3 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Prinsip konstitusi dan sistem pemerintahan yang dibangun atas dasar paradigma checks and balances, tidak boleh membiarkan adanya kekuasaan yang tidak tercakup dalam pengawasan.
“Oleh karenanya Mahkamah berpendapat, tidak terdapat masalah konstitusionalitas dalam norma yang dimohonkan pengujian a quo. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, dalil para Pemohon menyangkut inkonstitusionalitas Pasal 79 ayat (3) UU 17/2014 khususnya frasa “pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah” tidak beralasan menurut hukum,” tandas Manahan.
Independensi KPK dalam Putusan MK
Terkait dengan putusan tersebut, empat hakim konstitusi memiliki pandangan berbeda (dissenting opinions), yakni Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, Saldi Isra dan Suhartoyo. Dalam pendapat yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, semua elemen lembaga negara independen dipenuhi KPK seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Secara hukum, lanjut Saldi, serangkaian putusan Mahkamah Konstitusi pun telah berulangkali menyatakan independensi posisi KPK, di antaranya: (1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, tertanggal 19 Desember 2006; (2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-V/2007, tertanggal 13 November 2007; (3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, tertanggal 15 Oktober 2010; dan (4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, tertanggal 20 Juni 2011.
Saldi melanjutkan secara umum, serangkaian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menegaskan KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari (campur-tangan) kekuasaan manapun. Teori hukum tata negara dan rekaman putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sambungnya, telah menjadi benteng yang kokoh dalam mempertahankan dan meneguhkan posisi KPK dalam desain besar (grand design) agenda pemberantasan korupsi sebagai salah satu amanah pokok yang diperjuangkan pada Era Reformasi. Tak hanya itu, Saldi menyebut Putusan MK menegaskan bahwa KPK merupakan lembaga independen yang bukan berada di dalam tiga cabang lembaga kekuasaan negara di dalam doktrin trias politica. “Dengan demikian, telah jelas KPK bukan termasuk dalam cabang kekuasaan eksekutif,” sambungnya.
Kemudian mengenai perluasan penggunaan hak angket, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebut hal itu dipicu oleh rumusan norma dalam frasa “penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah” tidak dimaknai dalam pengertian pemerintah yang hanya terbatas pada eksekutif. Padahal, lanjutnya, apabila dilihat kembali dari perkembangan sejarah munculnya hak angket, eksistensi hak angket dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia, serta maksud dan tujuan diadopsinya hak angket dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 yang dikehendaki oleh anggota MPR yang melakukan perubahan terhadap UUD 1945 adalah instrumen untuk mengawasi Pemerintah dalam pengertian pengawasan terhadap eksekutif. Hal ini berarti apabila diletakkan ke dalam norma Pasal 79 ayat (3) UU MD3, penggunaan hak angket adalah untuk melakukan penyelidikan atas: (1) pelaksanaan suatu undang-undang oleh Pemerintah; (2) pelaksanaan suatu kebijakan oleh Pemerintah; dan (3) pelaksanaan undang-undang dan kebijakan sekaligus oleh Pemerintah. Kata “Pemerintah” dalam norma a quo tidak boleh dimaknai selain dalam makna atau pengertian eksekutif.
“Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, kami berpendapat, Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan a quo dengan menyatakan bahwa Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “pelaksanaan suatu undang-undang” dalam norma Undang-Undang a quo tidak diartikan “pelaksanaan undang-undang oleh Pemerintah (eksekutif)”,tandas Suhartoyo.
Bukan Objek Hak Angket
Sementara Maria memberikan pendapat berbeda yang menjelaskan bahwa KPK adalah termasuk dalam ranah kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pemerintah walaupun mempunyai ciri independen. Independen dalam hal ini, jelas Maria, harus dimaknai independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006). Walaupun KPK tidak bertanggung jawab kepada Presiden secara langsung, dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK. “Sehingga tidak seharusnya KPK menjadi objek dari hak angket DPR. Dengan demikian permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah “mengabulkan” permohonan a quo,” tegas Maria.
Dalam putusan tersebut, juga dibacakan Putusan MK Nomor 37/PUU-XV/2017 dan 40/PUU-XV/2017. Mahkamah memutuskan tidak dapat menerima kedua putusan tersebut. (Lulu Anjarsari)