Ketidakjelasan filosofi pemungutan Pajak Penerangan Jalan (PPJ) dan kesalahan berpikir dalam menentukan kausalitas justifikasi pemungutan PPJ menyebabkan pembalikan antara kewajiban dengan hak negara yang memunculkan ketidakadilan. Hal ini disampaikan Ahli Perpajakan FISIP UI Haula Rosdiana yang menjadi Ahli Pemohon uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Dalam sidang yang digelar pada Rabu (13/12) beragedakan mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon (APINDO).
Dalam hal ini, Haula menilai adanya kesalahan sehingga terdapat unsur membalikkan kewajiban negara menjadi kewenangan negara. Apabila berbicara mengenai listrik, Haula berpendapat hal tersebut merupakan barang yang harus disediakan negara karena syarat utama dalam infrastruktur negara sehingga negara berkewajiban untuk menyediakannya.
Haula melanjutkan dalam teori perpajakan terdapat fungsi fiskal Pemerintah dalam penyediaan public goodsuntuk menghindari market failure. Apabila pemenuhannya diserahkan pada swasta—termasuk penerangan jalan karena investasinya sangat besar sehingga swasta akan mengambil keuntungan atas hal tersebut. “Maka, negara harus turun tangan untuk pengadaan listrik karena listrik pengaruhnya sangat besar terhadap daya beli dan produktivitas,” jelas Haula di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Selain itu, PPJ dinilai secara filosofis tidak memiliki legal character yang jelas sehingga akhirnya ketika menentukan objek pun terlihat ketidakjelasan dan ketidakadilannya. Pemerintah menyampaikan bahwa pada penarikan PPJ ini sesuai dengan prinsip benefit reserves, sedangkan dalam pajak ada pula prinsip ability to payyang harus diperhatikan, maka seharusnya penggunaan listrik yang dihasilkan sendiri tersebut bukanlah objek pajak. “Karena tidak ada benefit reserves yang diberikan negara, bahkan kebalikannya di manan negara yang mendapatkan keuntungan dari warga negaranya. Inilah posisi falasi yang dimaksudkan dalam PPJ,” terang Haula terhadap perkara yang teregistrasi Nomor 80/PUU-XV/2017 ini.
Tarif Minimum Pajak
Terhadap PPJ yang ditetapkan Pemerintah yang dinilai sudah mengandung asas keadilan, Haula menjelaskan bahwa terhadap beban pajak 1,5% merupakan tarif yang ada pada undang-undang. Ketika berbicara beban pajak bukan hanya dihitung atas biaya yang dibayar, tetapi juga berapa biaya sebenarnya yang dikeluarkan wajib pajak. “Jadi, disinilah terjadi over tax session,” terang Haula.
Dalam kasus PPJ ini, Haula melihat bahwa tidak ada manfaat yang diterima pengusaha dari listrik, sedangkan mereka memberikan keuntungan pada negara. Justru, lanjut Haula, pengusaha dibebankan PPJ sehingga dirinya melihat bukan hanya masalah tax rate, tetapi juga ada masalah tax based.
Sebelum mengakhiri persidangan, Ketua MK Arief menyampaikan sidang selanjutnya akan diagendakan pada Rabu, 20 Desember 2017 pukul 11.00 dengan agenda terakhir berupa mendengarkan keterangan Ahli/Saksi dari Pemerintah.
Dalam permohonan sebelumnya, Pemohon menilai dengan berlakunya UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyebabkan Pemohon tidak mendapat perlindungan yang adil sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon menilai, seharusnya dalam menjalankan usahanya, Pemohon tidak dikenakan pajak penerangan jalan. Jika harus dikenakan pajak, hanya terbatas pada tenaga listrik yang bersumber dari negara dan digunakan untuk kegiatan nonproduksi. (Sri Pujianti/LA)