Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang untuk pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017, 60/PUU-XV/2017, 62/PUU-XV/2017, 67/PUU-XV/2017, dan 73/PUU-XV/2017 digelar pada Rabu (29/11) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi dari Pemohon perkara Nomor 62/PUU-XV/2017.
Dalam kesempatan itu, Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin melihat adanya ketidakmampuan dalam pelaksanaan aturan dalam UU Pemilu tersebut oleh KPU selaku badan penyelenggara pemilu. Hal ini dinyatakan Said selaku Ahli Pemohon karena dirinya melihat pada pasal a quo tidak ada verifikasi, sedangkan dalam pelaksanaannya KPU melakukan verifikasi pada partai politik peserta pemilu 2014. Said mencatat ada inkonsistensi dan ketidakjelasan yang diakibatkan oleh ketidakjelasan pasal yang sedang diujikan pada persidangan ini.
“Saya berpendapat pasal a quo sungguh tidak jelas maksudnya sehingga terbuktilah apa yang dikhawatirkan Pemohon atas ketidakjelasan pasal ini menimbulkan keragu-raguan bagi penyelenggara pemilu dalam menyususn aturan teknis pemilu yang berujung pada potensi terciptanya ketidakadilan antara parpol calon peserta Pemilu 2019,” jelas Said di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua Anwar Usman tersebut.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas Yuliandri yang juga hadir sebagai Ahli dari Pemohon menyampaikan dua hal yang dinyatakan Pemohon bahwa pada Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu terdapat unsur multitafsir dan menimbulkan perlakuan yang berbeda antarparpol peserta pemilu. Menanggapi hal ini, Yuliandri melakukan pembedahan dari aspek konseptual tentang sebuah norma dirumuskan serta memaknai kata “perlakuan yang berbeda” dari beberapa rujukan. Salah satu rujukan yang digunakan MK untuk menilai norma yang dipersoalkan berkaitan dengan perlakuan terhadap semua warga negara secara sama dihadapan hukum dan pemerintah.
Yuliandri melihat bahwa sebuah norma dirumuskan untuk dikategorikan sebagai norma haruslah merujuk pada asas peraturan yang baik, yang pada prinsipnya norma yang dirumuskan tidak satu pun yang boleh dirumuskan secara ambigu agar tidak menimbulkan ketidakpastian. Sedangkan mengenai konsep “perlakuan berbeda”, Yuliandri merujuk pada putusan MK Nomor 19 Tahun 2010, yang salah satunya menyebutkan bahwa diskriminasi yang selalu dihubungkan dengan adanya perlakuan yang berbeda terhadap suatu hal, tidaklah berarti serta-merta perlakuan yang berbeda tersebut menimbulkan diskriminasi hukum.
“Dengan demikian perlakuan yang berbeda yang dimaksud mengandung tingkat perbedaan yang lebih luas dibandingkan dengan diskriminasi karena perlakuan berbeda terjadi bukan hanya atas dasar sesuatu yang rasial saja. Jadi, dua hal yang berbeda antara perlakuan yang berbeda dengan diskriminastif,” jelas Yuliandri di hadapan sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Secara keseluruhan frasa pada pasal a quo mengatur tentang partai politik yang lulus verifikasi dan yang telah dinyatakan lulus verifikasi, Yuliandri melihat bahwa hanya partai politik yang lulus saja atau memenuhi syarat yang kemudian diatur pasal a quo. Dengan demikian, dirinya melihat ada dua kemungkinan dari ketidakjelasan pada pasal a quo, yaitu telah ada parpol yangg dinyatakan lulus atau ada parpol yang nanti akan ikut verifikasi telah dinyatakan lulus dan tidak ikut verifikasi. Sebagai contoh, Yuliandri menyampaikan bahwa KPU menjelaskan seluruh parpol peserta Pemilu 2014 dan parpol baru peserta Pemilu 2019 wajib mendaftarkan diri. Hanya saja untuk parpol peserta Pemilu 2014 tidak disyaratkan verifikasi faktual, berbeda dengan yang dialami parpol baru. Dalam hal ini, Yuliandri mempertanyakan kembali tentang ketentuan pasal 173 ayat (3) yang menyatakan seperti itu telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antarpartai politik peserta Pemilu mendatang. Maka, berkaitan dengan itu, Yuliandri melihat ada dua hal penting, yakni pertama, kepesertaan parpol dalam pemilu. Dalam hal ini pemilu dapat dimaknai sebagai kegiatan kenegaraan yang proses penyelenggaraannya tahap demi tahapnya berlangsung dua tahun dan dalam waktu inilah ada subjek yang disebut peserta pemilu, yakni parpol. “Dengan demikian, status kepesertaan setiap parpol hanya pada setiap pemilu, maka sifat kepesertaannya tidak permanen,” sampai Yuliandri.
Kedua, lanjut Yuliandri, merujuk pada eksistensi parpol dalam UUD 1945, parpol harus melalui tahapan mekanisme yang dilalui parpol sebelum jadi peserta pemilu bahwa parpol harus memiliki izin dan ditetapkan statusnya dalam badan hukum. Hal inilah yang berlangsung terus-menerus, kecuali parpol itu dinyatakan bubar. Maka, berdasarkan pengaturan parpol yang dinilai menimbulkan perlakukan berbeda Yuliandri menjawab dengan dua pendekatan, yaitu pengaturan terhadap parpol calon peserta pemilu; dan perbandingan pengaturan dan perlakuan terhadap semua calon peserta pemilu, baik parpol maupun calon peserta perorangan dalam pemilu legislatif maupun pilpres.
Pelaksanaan Verifikasi
Pada kesempatan yang sama, Pemohon pun mendatangkan Wibowo yang pernah bertindak selaku bagian dari Partai Bulan Bintang peserta Pemilu 2014. Dalam keterangannya, Wibowo yang dipandu oleh Christophorus Taufik menjelaskan mengenai hal yang dialaminya pada masa 2012 saat KPU melakukan verifikasi. Tiga hal yang diverifikasi adalah keberadan kantor dan seluruh kelengkapannya; pengurus; dan anggota dari parpol. Adapun untuk tingkat pusat, verifikasi dilakukan dua kali dengan cara komisioner mendatangi seleuruh kantor parpol dan memeriksa semua kelengkapan dokumen. “Diperiksa dulu kantornya lalu domisilinya. Kalau sama, maka memenuhi syarat, jika tidak maka akan dinyatakan tidak memenuhi syarat atau TMS,” cerita Wibowo yang sekarang menjadi bagian dari Dewan Pusat Perindo sejak 2016 lalu.
Pada akhir persidangan, Wakil Ketua MK Anwar pun menyampaikan persidangan akan dilanjutkan pada Selasa, 12 Desember 2017 pukul 09.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan dua ahli dan dua saksi dari Pemohon Perkara 73/PUU-XV/2017. (Sri Pujianti/LA)