Ketentuan mengenai verifikasi bagi partai politik sebagaimana tercantum dalam Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemilu, menyebabkan terjadinya ketidakadilan dan perlakuan yang tidak sama pada sekurangnya dua pihak. Pertama, pada partai politik baru yang bukan peserta pemilu terakhir. Dan kedua, pada calon peserta pemilu anggota DPD yang juga merupakan peserta pemilu anggota DPD pemilu terakhir.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh aktivis Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini yang hadir sebagai Ahli Perkara Nomor 60/PUU-XIV/2017 dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang keenam Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017, 60/PUU-XV/2017, 62/PUU-XV/2017, 67/PUU-XV/2017, dan 73/PUU-XV/2017 digelar pada Selasa (14/11) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Titi menerangkan aturan tersebut tidak adil pada partai politik baru yang bukan peserta pemilu terakhir. Persyaratan yang mengkhususkan tidak perlunya verifikasi bagi parpol peserta Pemilu 2014, menurut Ahli adalah tidak tepat. Sebab, lanjut Titi, tidak akan pernah ada situasi dan kondisi yang sama antara tahun 2012 dengan tahun 2017 berkaitan dengan pemenuhan persyaratan menjadi parpol peserta pemilu. Titi menambahkan adanya daerah otonom baru serta pertambahan jumlah penduduk merupakan variabel sederhana yang membuat parpol baru yang bukan peserta Pemilu 2014 harus memenuhi persyaratan yang lebih berat daripada parpol peserta Pemilu 2014.
“Menurut Ahli, frasa yang sama tidak serta-merta membuat perlakuan yang sama bagi partai politik yang menjalaninya. Jika menginginkan frasa yang sama melahirkan perlakuan yang sama pula, maka pembuat undang-undang harus mencari rumusan norma baru, bukan seperti yang diatur dalam Pasal 173 ayat (2) undang-undang a quo. Selama persyaratan bagi parpol menjadi peserta pemilu masih seperti norma yang ada dalam Pasal 173 ayat (2) undang-undang a quo, maka selama itu pula tidak akan pernah diperoleh perlakuan yang sama antara parpol yang baru dengan partai politik peserta pemilu terakhir,” paparnya.
Selain itu, Titi juga menyebut aturan tersebut tidak adil pada calon peserta pemilu Anggota DPD yang juga merupakan peserta pemilu Anggota DPD terakhir. Ia menambahkan UU Pemilu tidak hanya mengatur parpol peserta pemilu DPR dan DPRD, namun juga mengatur perseorangan peserta pemilu DPD. Namun, ia menyebut terdapat ketidaksetaraan pengaturan dan perlakuan kepada perseorangan calon peserta pemilu anggota DPD, yang juga merupakan peserta pemilu anggota DPD terakhir jika dibandingkan dengan pengaturan untuk partai politik.
“Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) undang-undang a quo menetapkan parpol yang telah lulus verifikasi dengan syarat dimaksud dalam pada Pasal 173 ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan menjadi parpol peserta pemilu. Namun, ketentuan ini ternyata tidak mutatis mutandis pada perseorangan calon peserta pemilu anggota DPD yang pada Pemilu 2014 lalu, juga berkompetisi sebagai perseorangan peserta pemilu anggota DPD,” tegas Direktur PERLUDEM tersebut.
Tidak Perlu Verifikasi Ulang
Berbeda halnya dengan KPU, yang menjelaskan partai politik sudah pernah melalui proses verifikasi faktual pada pemilihan umum terakhir tidak dilakukan verifikasi faktual ulang terhadap persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Pemilu. Pengertian tersebut disampaikan oleh Anggota KPU Hasyim Asyari yang hadir sebagai kuasa hukum Pihak Terkait. Hasyim menerangkan pengaturan tersebut merupakan implikasi yuridis tidak dilakukannya verifikasi atau verifikasi faktual ulang bagi partai politik lama berdasarkan Ketentuan Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu sebagai perwujudan perlakuan setara dan proporsional. Hal ini ditempuh karena partai-partai politik peserta pemilu yang sudah lebih dahulu mengikuti kontestasi pada pemilu terakhir telah melakukan suatu pembuktian secara faktual terkait keberadaannya, baik dalam hal kepengurusan maupun keanggotaan. Namun demikian, karena munculnya daerah otonomi baru, aturan verifikasi faktual akan tetap diberlakukan bagi partai politik peserta Pemilu 2014 maupun Pemilu 2019.
“Berdasarkan pertimbangan dan fakta-fakta tersebut, semua partai politik yang hendak menjadi peserta pemilu tanpa terkecuali wajib mendaftar kepada KPU dengan membawa persyaratan yang lengkap sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu, baik bagi partai politik peserta Pemilu Tahun 2014 maupun partai politik baru. Begitu juga terkait dengan proses atau tahapan penelitian administrasi, perlakuan yang sama juga diterapkan kepada seluruh partai politik calon peserta pemilu terhadap dokumen persyaratan yang telah diajukan,” tegas Hasyim di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Selain itu, Hasyim juga menjelaskan terkait ketentuan Pasal 222 UU Pemilu mengenai presidential threshold, KPU memahami bahwa ketentuan tersebut merupakan kebijakan politik pembentuk undang-undang sebagai konsekuensi pelaksanaan pemungutan suara pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dilakukan bersamaan dengan pemilu presiden dan wakil presiden.
Dalam permohonannya, para Pemohon berkeberatan dengan Pasal 173 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Pemilu terkait verifikasi parpol. Menurut para Pemohon, pasal-pasal a quo merugikan Pemohon karena memberikan standar ganda terhadap persyaratan partai politik untuk menjadi peserta Pemilu yang dapat diartikan bahwa syarat keikutsertaan suatu partai politik dapat dipilih berdasarkan pada penetapan atau proses verifikasi. (Lulu Anjarsari)