Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Selasa (14/11) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 61/PUU-XV/2017, 66/PUU-XV/2017 dan 75/PUU-XV/2017 tersebut dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Dalam sidang tersebut, Pemohon Perkara Nomor 66/PUU-XV/2017, yakni Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Tengku Muharuddin mengajukan ahli. Salah satunya adalah Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra. Dalam keterangannya, Yusril menyebut permohonan yang diajukan lebih berfokus pada masalah uji formil ketimbang uji materiil Pasal 557 dan Pasal 571 huruf (d) UU Pemilu. Menurutnya, kesalahan pembentukan UU Pemilu yang dibentuk tanpa adanya pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh justru bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terutama Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pasal 8 ayat (2) UUPA menyatakan “Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA”.
“Pengujian formil karena prosedur pembentukan kedua pasal tidak sesuai bahkan melanggar UUPA. Fokus untuk diuji bukan mengenai substansi, namun pembentukan pasal yang mengubah UUPA. Pembentukan UU terkait aceh harusnya meminta pertimbangan dari DPRA, maka konsultasi bukan dengan gubernur dan masyarakat,” jelas Ketua Umum Partai Bulan Bintang tersebut.
Yusril menyebut dengan terlanggarnya syarat pembentukan, maka secara otomatis, MK sudah tidak perlu lagi menguji secara materiil. Ia menyebut UU a quo sebaiknya dibatalkan oleh MK. “Jadi, kalau diuji secara formil, UU ini salah, maka MK tidak perlu menguji secara materiilnya. Betapapun bagus dan sesuainya perubahan KIP Aceh dalam UU baru, namun dari segi formil, UU tersebut melanggar, maka menurut saya, MK berhak membatalkan,” tegasnya.
Pemohon menghadirkan pula saksi, yakni Anggota DPD Ahmad Farhan Hamid. Dalam kesaksiannya, Ahmad menjelaskan tidak dilibatkannya DPRA dalam pembentukan UU Pemilu merupakan bentuk pelanggaran terhadap Perjanjian Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2015 tersebut. Ia meminta agar Pemerintah dan DPR lebih berhati-hati dalam membentuk perundang-undangan terkait Aceh.
Sementara itu, DPR yang diwakili oleh Asrul Sani menyampaikan keterangan terkait Perkara Nomor 75/PUU-XV/2017 yang dimohonkan oleh dua anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, yakni Hendra Fauzi dan Robby Syahputra serta Ferry Munandar yang merupakan aktivis pemantau pemilu. DPR menilai Mahkamah seharusnya menolak permohonan Pemohon karena tidak ada kerugian konstitusional Pemohon yang dikurangi dan direduksi. Menurut DPR, munculnya UU Pemilu merupakan tindak lanjut dari karena Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013.
Dalam permohonannya, Pemohon Nomor 66/PUU-XV/2017 yang menguji materiil Pasal 557 dan Pasal 571 huruf (d) UU Pemilu mendalilkan kedua pasal yang diujikan berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon karena bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945. Menurut Pemohon, penyusunan UU Pemilu tidak diawali dengan konsultasi dan pertimbangan dari DPRA sebagaimana diakui dan diberikan oleh Pasal 18B UUD 1945 tersebut. Hal serupa juga dimohonkan oleh para Pemohon Perkara Nomor 75/PU-XIV/2017 menguji Pasal 567 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2), dan Pasal 571 huruf d UU Pemilu yang dinilai berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon. Menurut para Pemohon, pasal tersebut telah mengakibatkan tidak berlakunya UU Pemerintah Aceh (UUPA), khususnya Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4). Pasal tersebut dinilai memposisikan Aceh memiliki peran yang lebih besar dan mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk di dalamnya penyelenggaraan pemilu. (Lulu Anjarsari)