Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017, 66/PUU-XV/2017, dan 75/PUU-XV/2017 di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan Keterangan Pemerintah dan Pihak Terkait dalam Perkara 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017. Pihak Terkait yang memberikan keterangan terdiri atas Yayasan Advokasi Rakyat Aceh dan tiga perseorangan warga Aceh yakni Ketua Panitia Pengawas Pemilihan/Panwaslih Aceh Samsul Bahri, Mantan Anggota Panwaslih Aceh Utara Ismunazar, dan Muhammad A. H.
Safaruddin selaku wakil dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh memberikan keterangan terhadap Perkara 66/PUU-XV/2017 yang diajukan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Tengku Muharuddin. Terkait dalil Pemohon yang berkeberatan dengan pencabutan Pasal 57 dan 60 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UUPA akibat berlakunya Pasal 571 huruf (d) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Safaruddin menyebutkan hal tersebut justru menguntungkan daerah Aceh. Terutama, lanjutnya, dalam hal penghematan pengeluaran yang kemudian dapat dialokasikan untuk pembangunan. Di samping itu, pasal-pasal dalam UU PA tersebut dinilai Pihak Terkait sudah ketinggalan zaman. “Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian dengan peraturan perundang-undangan terbaru sehingga lebih mengikuti dinamika yang ada di masyarakat,” terang Safaruddin.
Kemudian terkait dengan kedudukan hukum, Safaruddin menjelaskan keberadaan Pemohon sebagai anggota dewan daerah yang menggugat norma a quomenunjukkan ketidakkompakan Pemerintah Aceh, baik antara Gubernur dan jajaran pemerintah daerah Aceh. “Ketidakhadiran gubernur dalam perkara ini menunjukkan dukungannya atas berlakunya pasal a quo,” tegasnya.
Sedangkan menyangkut Perkara 61/PUU-XV/2017 yang diajukan Kautsar dan Samsul Bahri, Safaruddin menyampaikan bahwa Pemohon tidak dapat menjelaskan secara faktual ataupun potensial kerugian konstitusionalnya atas pemberlakuan pasal a quo. Di samping itu, terhadap adanya anggapan atas pemberlakuan pasal a quo menghilangkan hak dari anggota KIP Aceh, Safaruddin menjelaskan hal yang terdapat pada pokok permohonan Pemohon tersebut seolah kehilangan arah pokok permohonan. “Untuk itu, Pemohon seharusnya fokus pada kerugian konstitusional, bukan kerugian yang bukan dicakup dalam pasal a quo,” ujar Safaruddin di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Demi Perdamaian Aceh
Pada kesempatan berikutnya, Samsul Bahri (Ketua Panwaslih Aceh) pun memberikan keterangannya terhadap Perkara 66/PUU-XV/2017. Terkait pencabutan Pasal 57 dan 60 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UUPA, Samsul mengungkapkan hal tersebut dilatarbelakangi aspek historis dan aspek pengakuan konstitusional serta konsistensi yang terkandung di dalamnya. Aspek historisnya, yakni UU a quo pada hakikatnya, hadir untuk menciptakan kedamaian di Aceh dan dalam konteks menciptakan perdamaian di Aceh, agar UU a quo dapat berfungsi maksimal. Adapun aspek pengakuan konstitusional dan konsistensi, Samsul menegaskan bahwa hal ini sangat memperhatikan kekhususan Aceh yang diatur dengan UU. “Dengan demikian, pelaksanaan UUPA merupakan pengakuan Pemerintah atas kekhususan Aceh. Bahwa dalam konteks UUPA hendaknya memperhatikan bahwa tidak ada kewenangan Aceh yang dicabut, yang merupakan wujud inkonsistensi pemerintah untuk Aceh,” terang Samsul.
Selaras dengan pandangan Ismunazar, Muhammad A.H. selaku Pihak Terkait lainnya juga menyebutkan pencabutan UU PA yang dinilai bertentangan dengan status khusus Aceh, dirinya justru melihat hal tersebut sebagai bentuk pengakuan negara terhadap pemerintahan Aceh yang berbeda dengan provinsi lainnya. “Jadi, adanya perubahan aturan termasuk pencabutan pasal tersebut sesungguhnya memang diperlukan guna mengikuti dinamika di masyarakat,” jelas Muhammad.
Pada akhir persidangan, Ketua MK Arief pun menyampaikan persidangan akan dilanjutkan pada Senin, 13 November 2017 dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi dari Pemohon Perkara 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017. Sedangkan untuk Perkara 75/PUU-XV/2017 diajukan dua anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, yakni Hendra Fauzi dan Robby Syahputra serta Ferry Munandar yang merupakan aktivis pemantau pemilu akan diagendakan selanjutnya. (Sri Pujianti/LA)