Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden inkonstitusional karena sejak pembentukan UUD 1945, the founding fathers tidak mencantumkannya. Hal ini dijelaskan oleh Direktur Utama Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari sebagai ahli Pemohon uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli tersebut digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (24/10) di Ruang Sidang MK.
Feri menyebut angka ambang batas pencalonan yang dicantumkan dalam Pasal 222 UU Pemilu, yaitu sebesar 20% dan 25%, sama sekali tidak ada di dalam pasal UUD 1945. Secara sederhana, lanjutnya, tidak mungkin aturan sepenting itu dengan konsekuensi yang dapat ditimbulkan oleh angka-angka politik sepenting itu tidak menjadi perhatian pembentuk UUD 1945. Ia menyebut angka ambang batas yang dipersoalkan para Pemohon merupakan angka politik sesaat.
“Jika memang angka-angka tersebut sangat penting bagi sistem pemilihan presiden dan wakil presiden, tentu saja angka tersebut dicantumkan di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Faktanya, angka-angka 20% dan 25% itu hanya muncul dalam Undang-Undang Pemilu. Artinya, angka-angka tersebut adalah angka-angka politik sesaat yang diputuskan dalam pembahasan undang-undang. Angka-angka demikian bisa dinyatakan sebagai angka-angka inkonstitusional,” jelas Feri di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Selain itu, Feri menjelaskan sebagian besar negara yang menganut sistem presidensial tidak menerapkan sistem ambang batas (Presidential Threshold). Ia memberikan contoh di Amerika Serikat.
“Misalnya, lanjutnya, Presiden di Amerika tidak selalu dua, bahkan hampir tiap masa pemilihan presiden itu lebih dari dua, seingat saya misalnya di era pemilihan Bush yang kasus penting Bush-Al Gore itu 10 calon. Yang terakhir kemarin Trump dan Hillary, itu sebenarnya 23 calon presiden. Artinya, tidak ada batasan itu, pemilihlah yang kemudian diberikan ruang untuk menentukan siapa presiden terpilih. Sangat persis sebenarnya pola itu dengan pernyataan Mahkamah dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 itu bahwa ada kekuatan penyeimbang antara partai dan pemilih,” terangnya.
Sidang tersebut digelar bersamaan dengan perkara yang menguji UU Pemilu lainnya, yakni Perkara Nomor 44/PUU-XV/2017, 53/PUU-XV/2017, 70/PUU-XV/2017, 71/PUU-XV/2017, serta 72/PUU-XV/2017. Para Pemohon berkeberatan dengan aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Pemohon menilai Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemilu bersifat diskriminatif. Sebab, aturan tersebut memberikan perlakuan berbeda pada partai lama dan partai baru. Dengan kata lain, ketentuan tersebut berstandar ganda. Terkait Pasal 222 UU Pemilu, Pemohon menyebut aturan presidential threshold yang mengharuskan calon presiden dan wakil presiden memiliki dukungan minimal 20% untuk kursi DPR atau 25% untuk suara nasional pada pemilu DPR sudah tidak relevan. (ARS/LA)