Aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) kembali diuji secara materiil di Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara ini terdaftar dalam empat perkara, yaitu 70/PUU-XV/2017, 71/PUU-XV/2017, 72/PUU-XV/2017 dan 73/PUU-XV/2017. Para Pemohon dari perkara-perkara tersebut, yakni Partai Bulan Bintang (Perkara Nomor 70/PUU-XV/2017); Hadar Nafis Gumay, Yuda Kusumaningsih, Titi Anggraini (Perludem) dan Veri Junaidi (KODE) untuk Perkara Nomor 71/PUU-XV/2017; Mas Soeroso dan Wahyu Naga Pratala (Perkara Nomor 72/PUU-XV/2017); dan Pemohon terakhir adalah Partai Indonesia Kerja (PIKA) dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (Perkara Nomor 73/PUU-XV/2017).
Para Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 222 UU Pemilu. Pasal 222 UU Pemilu menyatakan:
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Dalam permohonannya, Partai Bulan Bintang yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra selaku Ketua Umum, menyebut ketentuan yang mengatur persyaratan perolehan kursi 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya dalam konteks pemilihan umum yang dilaksanakan serentak bertentangan UUD 1945. Pemohon menilai keinginan membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik hanya 5 (lima) pasang jika menggunakan ambang batas atau presidential threshold 20% (dua puluh persen) perolehan kursi di DPR atau hanya 4 (empat) pasang jika menggunakan 25% (dua puluh lima persen) suara sah secara nasional, merupakan keputusan yang kurang demokratis. Hal itu juga dinilai bertentangan dengan asas kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Yusril memaparkan MK pernah memutus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebanyak empat kali. Ia menyebut meski permohonannya merupakan pengujian kelima, namun permohonannya berbeda dengan permohonan sebelumnya yang ditolak MK. “Pemohon yang ditolak itu, MK selalu mengatakan bahwa ini adalah kebijakan terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang,” ujar Yusril di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto tersebut.
Akan tetapi, lanjut Yusril, meski aturan tersebut merupakan kebijakan politik terbuka, MK tidak otomatis dapat membatalkannya. Menurut MK, jika sebuah aturan buruk, MK tidak bisa serta-merta membatalkannya karena norma undang-undang yang buruk tidak otomatis inkonstitusional. Untuk itu, Yusril bukan lagi menggunakan batu uji UUD 1945.
“MK hanya akan membatalkannya kalau bertentangan dengan rasionalitas, moralitas, dan ketidakadilan yang inkonstitusional. Apakah itu bermakna? MK mempersilakan kami untuk mengujinya dengan filsafat hukum, tidak dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sudah empat kali ditolak. Kalau kita bicara rasionalitas, bicara moralitas, kita bicara tentang ketidakadilan (injustice) kita masuk ke filsafat hukum dan seluruh argumentasi kami adalah argumen filsafat hukum,” tuturnya.
Sementara itu, Hadar selaku Pemohon Perkara Nomor 71/PUU-XV/2017 menyebut aturan presidential threshold bertentangan dengan persamaan hak bagi seluruh peserta pemilu untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan wakil presiden. Selain itu, lanjutnya, Pasal 222 Pemilu bertentangan dengan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 bahwa penyelenggaraan pilpres harus dicegah dari transaksi politik posisi. Menurutnya, dengan adanya presidential threshold, hal tersebut berpotensi besar tumbuh antar partai politik.
Adapun Mas Soeroso yang merupakan Pemohon Perkara Nomor 72/PUU-XV/2017, menyebut aturan presidential threshold membatasi hak politik warga negara Indonesia. Tokoh bangsa yang potensial dan cerdas terancam tidak dapat mencalonkan diri sebagai presiden. Sebab kekuasaan mencalonkan presiden berada di tangan partai politik yang mesti saling berkoalisi untuk mengusung capres dan cawapres.
“Saya selaku pemimpin LSM di Kabupaten Banyuwangi selalu bergiat mengedukasi agar rakyat memilih pemimpin yang bersih dan berintegritas. Dengan aturan PT menyebabkan capres dan cawapres yang muncul akan orang itu-itu saja. Tidak ada peluang calon alternatif untuk muncul,” tegasnya.
Dalam sidang yang sama, Partai Indonesia Kerja (PIKA) dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (P3I) selaku Pemohon Perkara Nomor 73/PUU-XV/2017 menguji Pasal 173 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g dan Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu terkait syarat parpol dapat menjadi peserta pemilu. Akan tetapi, pada sidang perdana tersebut, PIKA menyatakan mencabut permohonannya sehingga Pemohon Perkara Nomor73/PUU-XV/2017 hanya diajukan oleh P3I. “Aturan di atas membuat membuat kami tak dapat ikut dalam pemilu. Ini bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang melindungi kebebasan berserikat. Ini cerminan ketidakadilan dan bentuk diskriminasi,” terang Heriyanto selaku kuasa hukum.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan para Pemohon, Panel Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Wahiduddin Adams memberikan masukan. Untuk Perkara 71/PUU-XV/2017, Palguna meminta kerugian konstitusional dipertajam dan bagian petitum lebih diringkas. Hal serupa juga disarankan untuk Perkara 72/PUU-XV/2017. “Saya kira (kerugian konstitusional) perlu lebih dipertajam. Kemudian, khusus mengenai badan hukum, kalau badan hukum agak lebih longgar. Karena kalau badan hukum atau ini, cukup kalau aktivitasnya memang berkaitan dengan persoalan yang diuji dalam undang-undang, itu sudah cukup ini,” sarannya.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan agar Pemohon Perkara Nomor 72/PUU-XV/2017 menguraikan kerugian konstitusional yang dialaminya. Sedangkan untuk Perkara Nomor 73/PUU-XV/2017, Wahiduddin meminta Pemohon memikirkan konsekuensi hukum jika pasal yang ada dibatalkan. (ARS/LA)