Sejumlah Pemohon perseorangan yang berprofesi sebagai jaksa memperbaiki permohonan uji materiil terkait aturan mengenai sanksi bagi para penuntut umum yang melakukan kesalahan administrasi dalam melakukan kewenangannya pada perkara pidana anak. Sidang kedua pengujian Pasal 99 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) digelar pada Selasa (3/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Noor Rachmad, dkk., yang berprofesi sebagai jaksa dan juga terdaftar sebagai Anggota PJI tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017.
Dalam sidang perbaikan permohonan tersebut, Pemohon menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon mengubah kedudukan hukum yang semula mengatasnamakan Persatuan Jaksa Indonesia menjadi perseorangan. Selain itu, Ucok selaku kuasa hukum, juga memaparkan kasus faktual kriminalisasi jaksa dalam peradilan pidana anak.
“Kami sudah melakukan perubahan terkait legal standing yang pertama, yang tadinya adalah melalui badan hukum dan perorangan, kami melakukan perubahan menjadi perorangan. Kemudian, kami juga menambahkan beberapa poin yang intinya adalah terkait upaya kriminalisasi yang ada pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak,” terang Ucok di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 99 UU SPPA. Pasal 99 UU SPPA menyatakan, “Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun”.
Menurut Pemohon, Pasal 99 UU SPPA berpotensi mempidana para penuntut umum yang melakukan maladministrasi dalam menjalankan wewenang dalam perkara pidana anak. Pasal tersebut dinilai mengintervensi independensi jaksa, padahal seharusnya kesalahan yang bersifat adminstratif dari seorang jaksa dipertanggungjawabkan kepada atasan dalam struktur dan jenjang pengawasan yang sudah disediakan oleh peraturan perundang-undangan seperti yang diatur dalam UU Kejaksaan.
Selain itu, Pemohon menganggap pemidanaan atas pelanggaran hal yang bersifat administratif seharusnya tidak dapat diawasi dan dikoreksi oleh kekuasaan yudikatif yang dalam hal ini adalah peradilan pidana. Pengawasan koreksi oleh sebuah peradilan pidana atas pelanggaran tersebut, dapat dikatakan sebagai intervensi kekuasaan lainnya. Untuk itulah, Pemohon meminta agar MK membatalkan keberlakuan Pasal 99 UU SPPA. (Lulu Anjarsari)