Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Dokter (UU Pendidikan Dokter) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (27/9). Agenda sidang Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 tersebut adalah mendengar keterangan ahli dan saksi yang dihadirkan Pihak Terkait, yakni Ikatan Dokter Iindonesia (IDI).
Dalam sidang ke-12 tersebut, hadir Ahli Bidang Perilaku Organisasi Reno Rafly yang memberikan pandangan mengenai permasalahan organisasi IDI dari sudut pandang perilaku organisasi, sistem, dan sumber daya manusia. Reno menyampaikan dokter Indonesia merupakan bagian dari WNI yang perlu dilindungi dan diberi ruang yang aman untuk mengembangkan pengetahuan dan profesinya guna melayani masyarakat dan memajukan bangsa. Untuk itu, lanjtutnya, para dokter pun perlu memercayai pemerintah dan sistem bahwa mereka diberi keamanan dan sarana serta prasarana yang memadai dalam membantu para pasien.
Reno juga menerangkan berdasarkan tujuan dalam AD/ART Tahun 2015, IDI sebagai sebuah organisasi harus berkembang dengan memahami kebutuhan anggotanya dan memberikan suasana aman untuk mengemukakan gagasan dan opini dalam memajukan profesi untuk terus melayani kepentingan publik. Ia menekankan pentingnya untuk memiliki satu organisasi profesi dokter seperti IDI.
“IDI adalah wadah yang cukup sebagai satu kesatuan yang melindungi masyarakat dan anggotanya dari ancaman internal seperti menemukan solusi untuk mencegah penyakit dan ancaman eksternal berupa masuknya dokter-dokter asing yang belum tentu mempunyai kepentingan terbaik untuk bangsa Indonesia,” sampai Reno di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Reno pun menambahkan, adanya lebih dari satu organisasi profesional untuk industri swasta dapat dibenarkan karena persaingan diperlukan pasar. Namun, dalam organisasi profesional seperti kedokteran akan berbahaya karena potensial menciptakan ambiguitas dalam standar dan kompetensi profesional, tidak ada single source of truth, dan tidak ada akuntabilitas yang jelas. “Ketiga efek potensial ini dapat menyebabkan ketidakpercayaan pasien terhadap dokter dan menjadi bola salju yang kemudian dapat mengancam kesehatan dan ketahanan bangsa,” tegas Reno.
Tidak Ada Intervensi
Ahli lainnya yang dihadirkan IDI adalah Ketua ARSPI Anwar Santoso. Dalam penjabarannya, Anwar mencermati kerugian konstitusional Pemohon yang memaknai “organisasi profesi” dengan menganggap Pasal 1 angka 12 dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran membatasi kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Menurutnya, penafsiran Pemohon terhadap Pasal 1 angka 12 dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran tersebut tidak benar.
Anwar menyebut rekomendasi untuk mendapatkan surat izin praktik tidak pernah dipersulit IDI sepanjang yang bersangkutan tidak terlibat perkara pidana atau pelanggaran etika kedokteran berat. Di samping itu, IDI masih memberikan hak-hak dalam menjalankan kegiatan akademik dan profesinya dalam organisasi perhimpunan dokter spesialis tanpa adanya intervensi, baik dalam hal kebijakan umum maupun teknis.
“IDI dalam kenyataannya tidak mengintervensi kewenangan kolegium dalam menyusun standar pendidikan profesi kedokteran dan kedokteran gigi. MKKI masih bisa dan bebas melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam membina pendidikan profesi kedokteran yang berdasarkan pada AD/ART IDI Tahun 2015,” terang Anwar.
Program DLP
Pada kesempatan yang sama, Pihak Terkait juga mendatangkan dua saksi, yakni Ketua Konsil Kedokteran Indonesia Periode 2014-2019 Bambang Supriyatno dan Pengajar Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar Abdul Razak Thaha.
Dalam kesaksiannya, Bambang memberikan pernyataan bahwa KKI tidak menolak program Dokter Layanan Primer (DLP). Menurutnya, DLP adalah suatu program studi baru yang merupakan kelanjutan dari program kedokteran setara spesialis. Diakui oleh Bambang bahwa hingga saat ini KKI belum memiliki standar pendidikan dari program tersebut.
“KKI masih dalam proses menunggu diserahkannya standar tersebut untuk dapat disahkan oleh KKI. Dengan demikian, dapat kami pastikan bahwa KKI tidak pernah melakukan penolakan terhadap berdirinya program DLP,” tutur Bambang.
Senada dengan itu, Razak pun memberikan kesaksian terkait komitmen dan konsistensi IDI dalam mengawal norma DLP. Menurutnya, sebagai dokter yang telah aktif dalam organisasi IDI sejak 1980, ia menyampaikan sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh Kolegium Dokter Indonesia ditandatangani oleh Ketua KDI dan Kolegium DLP yang mencantumkan DLP. Selanjutnya, IDI juga terlibat aktif dalam penyusunan SKDI yang menempatkan norma dokter layanan primer sebagai kompetensi dokter Indonesia.
“Jelas sekali bahwa sikap dan kebijakan IDI yang konsisten dalam mengawal dan mematuhi norma DLP dalam UU Pendidikan Kedokteran. Adapun perbedaan yang terjadi dalam penyusunan RPP DLP hanyalah mengenai aspek pelaksanaan dan bukan normanya,” urai Razak.
Beberapa pengajar dan praktisi kedokteran tercatat menjadi Pemohon uji materiil UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran. Dalam permohonannya, para Pemohon menyebut hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 4, angka 12, dan angka 13 , Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Selain itu, para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran.
Para Pemohon menganggap norma-norma yang diujikan para Pemohon dinilai menjadikan IDI sebagai super body dan super power yang dapat berlaku sewenang-wenang dan bahkan tanpa memedulikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini diperparah dengan ketiadaan mekanisme kontrol/pengawas internal organisasi yang efektif. Salah satunya terkait dengan adanya sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh Kolegium Dokter Indonesia. Menurut para Pemohon, setiap lulusan fakultas kedokteran telah melalui uji kompetensi sesuai Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran dan mendapatkan sertifikat profesi (ijazah dokter). Sehingga, tidak diperlukan lagi untuk mendapatkan sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). (Sri Pujianti/LA)