Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh Anggota DPR Papua Barat (DPRPB) Periode 2014-2019 Yan Anton Yoteni. Yoteni mengajukan pengujian materiil atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU (UU Pilkada). Sidang Putusan Nomor 75/PUU-XIV/2016 tersebut digelar pada Rabu (20/9) di Ruang Sidang MK.
Yoteni merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU Pilkada yang mengatur tentang pengajuan calon dari partai politik (parpol) ataupun gabungan. Pemohon merupakan Ketua Fraksi Otonomi Khusus DPRPB yang dipilih oleh Masyarakat Adat Orang Asli Papua dan berniat mengajukan diri sebagai calon gubernur Papua Barat dalam Pilkada Serentak 2017. Namun, niat tersebut terhalang karena Pemohon tidak diusung oleh parpol maupun gabungan parpol. Pemohon menilai ketentuan tersebut diskriminatif karena membedakan anggota DPRPB yang diusung parpol dengan yang diusung oleh masyarakat adat.
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah menilai tidaklah berwenang menambahkan substansi kekhususan atau keistimewaan terhadap daerah yang diberikan status khusus atau status istimewa, termasuk dalam hal ini menambah substansi kekhususan terhadap Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, Mahkamah pernah memutus dalam Putusan Nomor 116/PUUVII/2009 bertanggal 1 Februari 2010 mengenai eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Dalam Putusan tersebut, ditegaskan pengisian jabatan anggota DPRP Provinsi Papua yang bukan hanya diselenggarakan melalui pemilihan, tetapi juga melalui pengangkatan. Hal itu menjadi salah satu wujud konkret dari kekhususan Papua yang diberikan oleh UU Otonomi Khusus Papua. Sedangkan mengenai kekhususan dalam pengisian jabatan kepala daerah dengan cara mengangkat memang belum diatur dalam UU Otsus Papua kecuali bahwa gubernur dan wakil gubernur Papua harus orang asli Papua.
“Oleh karena itu apabila ada kehendak baru untuk memberikan hak mengajukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur kepada anggota DPRP yang keanggotaannya melalui proses pengangkatan, maka maksud demikian seharusnya dilakukan melalui proses legislative review terhadap UU 21/2001 dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kekhususan daerah sebagaimana termaktub dalam Pasal 18B UUD 1945,” ujar Manahan.
(Lulu Anjarsari/lul)