Aturan batasan usia untuk menjadi perangkat desa diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (18/9). Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Desa (UU Desa) dimohonkan oleh Sukirno yang merupakan warga Desa Sidasari, Kecamatan Sampang, Kabupaten Cilacap.
Pemohon yang hadir tanpa didampingi oleh kuasa hukum menguji Pasal 50 ayat (1) huruf b UU Desa yang menyatakan:
“Perangkat Desa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48, diangkat dari warga Desa yang memenuhi persyaratan:
a. ......;
b. berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun.;”
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Sukirno merasa hak konstitusionalnya dilanggar dengan berlakunya ketentuan tersebut. Ia menyebut pasal tersebut menghalanginya mencalonkan diri sebagai perangkat desa karena usianya sudah melewati 10 bulan dari UU a quo.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 50 ayat (1) huruf b UU Desa mengekang dan memberi pembatasan, serta tidak memberi kesempatan yang sama kepada Pemohon. Padahal, lanjutnya, ia masih dalam usia produktif dan berniat ingin berkarya menjadi Perangkat Desa. Berdasarkan pengelompokan usia produktif yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), definisi kelompok usia produktif sebagai kelompok yang mampu menghasilkan produk atau jasa adalah yang beraa dalam rentang usia 15 tahun sampai dengan 64 tahun.
Selain itu, Pemohon menguraikan jika dirinya telah memahami pertimbangan perspektif batas kecakapan/kemampuan fisik dan psikis yang dibutuhkan untuk menjadi Perangkat Desa. Hal tersebut akan memberikan jaminan kualitas layanan kepada warga. Namun, Pemohon menilai batas usia yang dimaksud seharusnya dimaknai sebagai batasan kondisi seseorang yang memasuki usia yang kurang atau tidak cakap lagi dalam memberikan pelayanan sehingga harus berhenti dari pekerjaan atau profesinya. Kemudian, Pemohon juga berpendapat, seharusnya Pemerintah menghamonisasi batas usia profesi penyelenggara administrasi pemerintahan lainnya, semisal dengan Aparatur Sipil Negara.
Secara filosofis, Sukirno menerangkan tidak ada alasan untuk membeda-bedakan batasan usia maksimal penyelenggara administrasi pemerintahan. Justru sebaliknya, jelasnya, Pemerintah harus membuka berbagai kemungkinan bagi warganya untuk dapat bekerja, termasuk bekerja dalam urusan pembantuan penyelenggaraan administratif Pemerintahan Desa. Secara sosiologis, menurut Pemohon, Pemerintah belum mampu menyediakan lapangan kerja dengan mendasarkan pada sistem pengelompokkan usia bagi warganegaranya, terlebih pada situasi bonus demografi saat ini hingga 20-30 tahun ke depan. Lalu, secara yuridis, pembatasan usia maksimal seseorang untuk mencalonkan/ mendaftarkan diri menjadi penyelenggara suatu profesi tertentu, dilakukan haruslah wajar dan masuk akal (reasonable and rational) sedemikian rupa, tanpa menghilangkan kewajiban konstitusional Pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warganegaranya.
“Meskipun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur secara spesifik atau tidak mengatur parameter khusus mengenai suatu ketentuan tentang batasan usia maksimal seseorang untuk terlibat aktif dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, namun setidaknya pembentuk undangundang tidak secara serampangan menafsirkan dan menuangkan perbedaan batasan usia maksimal penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang satu dengan yang lainnya, atau yang di bawah dengan yang di atasnya,” ujarnya membacakan permohonan Nomor 68/PUU-XV/2017.
Untuk itu, dalam petitum-nya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun” dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b UU Desa bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Suhartoyo memberikan saran perbaikan. Maria meminta agar Pemohon menguraikan alasan frasa “sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun” dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b UU Desa bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, Pemohon harus menjelaskan batasan yang seharusnya sesuai Konstitusi.
“Jadi batasannya apa? Apa enggak ada batasannya? Ya, kan. Kalau 42 tahun itu batasan, kemudian dianggap bertentangan dengan konstitusi, maka berapa tahun yang layak? Dan itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Itu harus diberikan suatu alasan kenapa 42 tahun itu bertentangan, tapi batasannya enggak ada, kalau di sini enggak ada batasannya,” sarannya.
Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan.
(Lulu Anjarsari/lul)