Sidang perbaikan permohonan terhadap uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) kembali digelar, Senin (18/9). Sidang yang dimohonkan perseorangan warga negara Indonesia bernama Muhammad Hafidz digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Ruang Sidang Panel MK dengan perkara Nomor 57/PUU-XV/2017.
Dalam sidang perbaikan permohonan, Hafidz menyampaikan bahwa pihaknya menambahkan pasal yang diujikan, yakni Pasal 59 ayat (2) yang berbunyi “Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai peraturan perundang-undangan”.
Pada sidang pendahuluan, Pemohon mendalilkan Pasal 57 ayat (3) berpotensi merugikan hak konstitusionalnya karena terdapat potensi ketidaksegeraan para pihak terkait dalam menindaklanjuti setiap putusan MK dalam suatu perkara sehingga berpotensi menimbulkan kekosongan hukum. Pemohon merasa perlu menambahkan materi uji yakni Pasal 59 ayat (2) sepanjang frasa “Jika diperlukan...”. Sebab, menurut Pemohon, pasal tersebut terbukti beralasan menurut hukum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hafidz menegaskan bahwa pasal yang ditambahkan tersebut berpotensi akan merugikan hak konstitusionalnya. Sebab, apabila Pemohon mengalami pengakhiran hubungan kerja dan menimbulkan perselisihan hubungan industrial, Pemohon berpotensi dirugikan dengan hilangnya sebagian hak-haknya yang telah dilindungi Putusan MK akibat ketidaksegeraan perubahan peraturan perundang-undangan sebagai suatu bentuk tindak lanjut putusan MK. Dengan demikian, apabila ketentuan dalam pasal tersebut tidak dinyatakan konstitusional bersyarat, maka berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon.
“Maka, kerugian konstitusional yang potensial ditimbulkan atas pasal a quo adalah disharmoni terhadap putusan MK. Bahwa sifat final dalam putusan MK, bermakna tidak hanya berlaku bagi para pihak yang memohon pengujian, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia atau erga omnes dan lebih-lebih putusan MK tersebut oleh penegak hukum dianggap sebagai law in abstracto yang tidak dapat diterapkan pada suatu kasus yang terjadi di masyarakat atau law in concreto,” terang Hafidz di hadapan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Manahan M.P. Sitompul, dan Wahiduddin Adams.
Hafidz pun menambahkan dalam Pasal 59 ayat (2) sepanjang frasa “jika diperlukan” tersebut juga terkandung makna bahwa putusan MK dapat saja dianggap tidak perlu untuk segera ditindaklanjuti, yang pada akhirnya berakibat pada banyaknya putusan non-executable (tidak dapat dilaksanakan).
“Oleh karena itu, guna menghindari terjadinya kesewenangan atas tindak lanjut putusan MK, terlebih adanya penafsiran kembali, maka untuk mengimplementasikan putusan MK serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum, Pemerintah dapat menerbitkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sesuai dengan tata urutan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan untuk menindaklanjuti putusan MK yang muatan materinya mempunyai kesamaan dengan putusan MK,” lanjut Hafidz dalam sidang perbaikan permohonannya.
(Sri Pujianti)