Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), Senin (18/9). Sidang perdana perkara Nomor 64/PUU-XV/2017 tersebut diajukan enam anggota DPD 2014-2019. Para Pemohon mempersoalkan syarat wajib mundur dari jabatan anggota DPD dan DPRD jika hendak mengikuti pilkada.
Anggota DPD tersebut, yakni Akhmad Muqowam, Muhammad Mawardi, Abdul Rahman Lahabato, M. Syukur, Intsiawati Ayus, dan Ahmad Kanedi. Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada yang menyatakan:
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
s. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.
Kuasa Hukum Pemohon Aan Eko Widiarto menyebut pasal yang diujikan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena melanggar prinsip negara hukum demokratis. Mengutip pendapat Bentham, Pemohon menyatakan tujuan undang-undang adalah memberi kebahagiaan, namun ketentuan yang diujikan justru merugikan.
“Pasal ini justru membuat anggota DPR, DPRD, DPD harus melepas jabatannya ketika hendak maju pilkada. Padahal mereka belum tentu menang dalam pilkada,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Selanjutnya, pasal tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 karena menisbikan DPRD sebagai unsur pemerintah daerah. “Di pasal yang diujikan, anggota DPRD harus mundur jika ingin maju dalam pilkada. Tetapi, dalam Pasal 7 ayat (2) Huruf p UU Pilkada tidak berlaku bagi gubernur, bupati, walikota, serta bupati yang hendak maju di pilkada,” jelasnya.
Baginya, DPRD serta walikota dan bupati, merupakan satu bagian dari pemerintahan daerah. Namun penerapan kebijakan kepada kedua lembaga tersebut malah berbeda. Pemohon juga menilai pasal yang diujikan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Menurutnya, norma tersebut melanggar prinsip persamaan di mata hukum. Norma yang diujikan bersifat diskriminatif dan tidak memberi kesempatan yang sama.
Aan juga menyatakan perkara tersebut tidak bisa dikatakan nebis in idem, meski sudah ada putusan yang sama terkait pasal serupa, yakni Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008, Nomor 45/PUU-VIII/2010, Nomor 12/PUU-XI/2013, Nomor 57/PUU-XI/2013, Nomor 41/PUU-XII/2014, dan Nomor 83/PUU-XIII/2015.
“Perkara yang diujikan adalah undang-undang yang berbeda. Isu hukum yang diajukan juga berbeda. Jika dulu perbandingannya dengan PNS dan Pegawai BUMN, saat ini perbandingannya dengan kepala daerah,” tegasnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyebut secara garis besar permohonan sudah tidak bermasalah. Namun dirinya menyarankan poin dua dan tiga pada petitum digabung sehingga lebih ringkas. Palguna juga bertanya tentang dua kuasa hukum Pemohon yang belum menandatangani surat kuasa. Apakah mereka masih terdaftar atau tidak. “Dua orang tersebut masih berstatus sebagai kuasa hukum. Untuk perbaikannya, akan kami susulkan,” jelas Aan.
Senada, Wahiduddin menyebut garis besar permohonan sudah benar. “Saya anggap Pemohon sudah mempersiapkan tameng-tameng bagi poin yang krusial. Misalnya, soal nebis in idem sudah ada bantahan hukumnya,” jelasnya.
Sebelum menutup sidang, Majelis Hakim menyatakan perbaikan permohonan maksimal diserahkan 14 hari, yaitu paling lambat 2 Oktober 2017 pukul 11 siang.
(ARS/lul)