Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (19/7) siang.
Dua perkara, yakni Nomor 36 dan Nomor 37/PUU-XV/2017 disidangkan dalam pleno yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra. Pemohon Perkara Nomor 36 adalah Achmad Saifudin Firdaus dan rekan-rekan yang tergabung dalam Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK). Pemohon mendalilkan ketentuan frasa “pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah” dalam Pasal 79 ayat (3) UU 17/2014 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Sebab, Indonesia adalah negara hukum yang menjadikan semua tindakan lembaga penyelenggara negara harus berdasarkan hukum yang berlaku agar tidak menyebabkan kesewenang-wenangan.
Pasal 79 ayat (3) UU MD3 berbunyi, “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang- undangan”.
Menurut Pemohon, berdasarkan peristiwa yang terjadi saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menghadapi Pansus Angket yang telah dibentuk oleh DPR. Pemohon mengutip keterangan yang disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K. Harman yang mengatakan “Hak angket digunakan untuk mengontrol Pemerintah secara luas. Dalam arti luas, Pemerintah adalah eksekutif, legislatif dan yudikatif."
Pemohon beranggapan, apabila mengacu pada pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR serta pemaknaan DPR dalam memaknai norma a quo, maka hak angket dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan kepada lembaga-lembaga negara independen seperti KPK dan lembaga negara independen lainnya. Bahkan dapat juga digunakan untuk menyelidiki kebijakan lembaga yudikatif seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya yang melaksanakan undang-undang. Hal tersebut apabila dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya membuat kebijakan atau putusan diduga bertentangan peraturan perundang-undangan.
Sementara, Pemohon Perkara Nomor 37 Horas A.M. Naiborhu selaku Direktur Eksekutif LIRA Institute mendalilkan bahwa hak angket adalah hak konstitusional DPR dalam rangka hubungan ketatanegaraan dengan Pemerintah. “Konsekuensi dari Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang berwenang mewakili Pemerintah dalam hubungan dengan DPR sesungguhnya adalah Presiden. Adapun badan-badan dan/atau jabatan-jabatan di bawah Presiden tidak mempunyai kapasitas untuk berhubungan atas nama dan untuk kepentingan sendiri dengan DPR maupun dengan lembaga-lembaga negara lainnya,” urainya.
Menurut Pemohon, Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 telah mengaburkan esensi hak angket sebagai wujud hubungan antarlembaga negara yang berlangsung pada tingkat ketatanegaraan. Sebab, penjelasan tersebut telah menarik badan-badan dan/atau jabatan pemerintahan di bawah Presiden ke dalam ranah jangkauan hak angket oleh DPR. Padahal konsekuensi dari sistem pemerintahan presidensial adalah hak angket oleh DPR semestinya hanya dapat ditujukan kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Nasihat Hakim
Menanggapi dalil Pemohon perkara Nomor 36, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menyarankan agar menghilangkan kata “tidak” dalam petitum. “Penghilangan kata ‘tidak’ dalam petitum itu lebih tepat. Kemudian ditambah juga penjelasan dalam petitum sebagai penguat,” kata Manahan.
Sedangkan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memberikan nasihat agar Pemohon belajar dari permohonan-permohonan terdahulu. “Pertanyaan saya, mengapa Anda lebih menonjolkan perorangan warga negara Indonesia. Bukankah sebelumnya, kedudukan hukum Saudara diterima sebagai FKHK? Sebab nantinya dikhawatirkan bercampur baur argumentasinya. Coba buka lagi putusan MK terkait permohonan Saudara,” urai Palguna.
Kemudian terhadap Perkara Nomor 37, Manahan mengatakan kepada Pemohon untuk lebih menjelaskan secara gamblang kedudukan hukum Pemohon. “Karena Saudara dalam identitasnya menulis sebagai Direktur Eksekutif LIRA Institute. Saudara harus menerangkan apa itu LIRA Institute, bergerak di bidang apa serta apa visi misinya. Kalau perlu AD dan ART juga dijelaskan dan apa hubungannya dengan pasal yang Saudara uji,” ucap Manahan.
Adapun Palguna mengingatkan Pemohon untuk lebih menguraikan kerugian-kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. “Soal kedudukan hukum itu sangat menentukan untuk kelanjutan permohonan yang Saudara mohonkan,” tandasnya.
(Nano Tresna Arfana/lul)