Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) pada Senin (10/7) di Ruang Sidang MK. Putusan tersebut menyatakan keputusan dalam konsultasi penyusunan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan DPR tidak bersifat mengikat.
“Amar putusan mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ucap Wakil Ketua MK Anwar Usman didampingi para Hakim Konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 92/PUU-XIV/2016.
Pasal 9 huruf a UU Pilkada menyatakan,
Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a. menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat;
Mahkamah berpendapat, frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” dalam ketentuan tersebut membawa implikasi teoretik maupun praktik yang dapat bermuara pada tereduksinya kemandirian KPU dan sekaligus tidak memberi kepastian hukum.
Menurut Mahkamah, bukan tidak mungkin bahwa dalam forum dengar pendapat dimaksud tidak tercapai keputusan yang bulat atau bahkan tidak ada kesimpulan sama sekali. Hal itu dapat terjadi, misalnya karena di satu pihak tidak terdapat kesepakatan. Baik antara antara fraksi-fraksi di DPR, antara DPR dan pemerintah, antara DPR dan KPU, atau antara KPU dan Pemerintah.
Dalam keadaan demikian, menurut Mahkamah, frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” telah menyandera KPU dalam melaksanakan kewenangannya untuk merumuskan peraturan KPU dan pedoman teknis. Sehingga kewenangan itu menjadi tidak dapat dilaksanakan karena tidak jelas keputusan mana yang harus dilaksanakan oleh KPU. Kebuntuan demikian dapat mengancam agenda ketatanegaraan yang keberlanjutannya bergantung pada peraturan KPU dan pedoman teknis KPU.
Selain itu, menurut Mahkamah, adanya frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” secara teknis perundang-undangan juga menjadi berlebihan. Sebab, tanpa frasa itu pun apabila konsultasi dalam forum dengar pendapat tercapai kesepakatan, dengan sendirinya KPU akan melaksanakannya. Frasatersebut juga dinilai telah menghilangkan atau setidaknya mengaburkan makna ‘konsultasi’ dalam Pasal 9 huruf a UU Pilkada tersebut.
“Sebagai forum konsultasi, dalam hal tidak terdapat kesepakatan, maka KPU sebagai lembaga yang dijamin kemandiriannya oleh UUD 1945 tidak boleh tersandera dalam melaksanakan kewenangannya dalam membuat peraturan KPU dan pedoman teknis. Sebab, lembaga inilah yang bertanggung jawab untuk menjamin bahwa Pemilu dan pemilihan kepala daerah terlaksana secara demokratis,” kata Hakim Konstitusi Aswanto yang membacakan pendapat Mahkamah.
(Nano Tresna Arfana/lul)