Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan atas uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Selasa (13/6). Perkara yang teregistrasi Nomor 29/PUU-XV/2017 tersebut dimohonkan oleh Elisa Manurung dan Paingot Sinambela yang berprofesi sebagai advokat.
Para Pemohon menguji materiil norma Pasal 1 angka 6 huruf b, Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 183, Pasal 190 huruf a, Pasal 191 ayat (3), Pasal 193 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, Pasal 197 ayat (1) huruf k, Pasal 238 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 242, Pasal 253 ayat (4) dan ayat (5) huruf a dan huruf b KUHAP terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut merugikan hak konstitusionalnya karena berakibat pada hilangnya, berkurangnya, terbatasnya hak atas kepastian hukum yang adil. Kerugian tersebut, lanjutnya, semakin berpotensi terjadi pascaputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang mengadili Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Menurut Pemohon, putusan Majelis Hakim tersebut tidak berdasar tuntutan dan mencampuradukkan antara putusan dan penetapan penahanan.
“Dalam perkara ini terdapat dua kelompok keberatan yang diajukan. Pertama, keberatan atas kewenangan Majelis Hakim untuk menetapkan penahanan terhadap terdakwa atas inisiatif sendiri dan tidak atas permintaan penuntut umum. Kedua, keberatan atas putusan hakim berdasar atas dakwaan dan tidak atas tuntutan penuntut umum,” urai Elisa selaku kuasa hukum sekaligus prinsipal yang mengajukan permohonan.
Pemohon menegaskan isu utama dari perkara tersebut adalah kewenangan hakim dalam menegakkan hukum. Hal yang dilakukan pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut, menurutnya, berpotensi meciderai keadilan, khususnya bagi para advokat.
Permohonan uji materiil KUHAP, khususnya Pasal 193 ayat (2) huruf a, juga diajukan oleh Organisasi Advokat Indonesia (AOI). Dalam permohonan yang teregistrasi Nomor 30/PUU-XV/2017 tersebut, para Pemohon menilai ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah, menimbulkan kekacauan hukum secara subjektif, serta membuka peluang terhadap pelanggaran prinsip persamaan di hadapan hukum.
“Pasal ini dapat ditafsirkan hakim dengan serta merta menahan terdakwa dalam suatu perkara hukum dan bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah,” jelas Benget Jhon, salah satu dari kuasa hukum Pemohon.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Nomor 29, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta Pemohon untuk mengaitkan permohonan dengan beberapa putusan MK yang dikutip. “Coba jelaskan kaitannya dengan kutipan-kutipan yang diambil dari putusan MK tersebut. Tolong disempurnakan,” ujar Wahiduddin.
Sementara, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan Pemohon untuk memperbaiki sistematika permohonan, mengelaborasi lebih dalam alasan-alasan permohonan dengan norma-norma yang diujikan, serta merangkai petitum dengan lebih baik.
Untuk perkara Nomor 30, Suhartoyo menekankan pada konsekuensi dari dihilangkannya pasal yang dimaksudkan Pemohon. “Kalau Pasal 193 yang dimintakan ini dinyatakan dihilangkan dari KUHAP, coba cermati kembali isinya. Apabila ayat (2) dihilangkan, apakah itu tidak dikhawatirkan terdakwa lari? Nah, agar tidak lari, Pasal 193 ayat (2) ini jadi instrumennya,” jelasnya.
Selaku pemimpin sidang, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengingatkan para Pemohon untuk membangun argumentasi dari pasal-pasal yang diujikan. “Ini ada dua puluh pasal yang diuji konstitusionalnya dengan Pasal 1 ayat (3), pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ini layaknya masing-masing pasal diuraikan bangunan argumentasinya biar segala sesuatunya lebih jelas dan tegas,” terang Saldi.
Pada akhir sidang, Hakim Konstitusi Saldi menyampaikan pada para Pemohon bahwa perbaikan permohonan atas dua perkara tersebut diharapkan sudah disampaikan pada pihak Kepaniteraan MK pada Senin, 3 juli 2017 pukul 10.00 WIB.
(Sri Pujianti/lul)