Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Perkara yang teregistrasi Nomor 25/PUU-XV/2017 tersebut diajukan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo, Pemohon memohonkan uji materiil Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 UU PPLH dan Pasal 49 UU Kehutanan. Diwakili Refly Harun, Pemohon merasa sebagai pihak yang selalu dipersalahkan dan dibebankan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) apabila terjadi pembakaran hutan atau lahan meskipun secara faktual pembakaran tersebut tidak dilakukan oleh para Pemohon.
“Selain itu, para Pemohon juga mengalami kerugian finansial yang tidak sedikit. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi perlu menguji konstitusional pasal dan ayat a quo,” terang Refly.
Selain itu, kata “kelalaian” dalam Pasal 99 UU Kehutanan dinilai terlalu luas cakupannya. Pemohon menilai kata tersebut tidak mencerminkan prinsip kepastian hukum serta asas pidana tiada pidana tanpa kesalahan. “Pada kata ‘kelalaian’ itu tidak jelas parameternya dan inti kelalaian itu disebabkan oleh siapa dan yang akan bertanggung jawab siapa,” urainya.
Nasihat Hakim
Menanggapi dalil para Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan mempertanyakan status Pemohon yang merupakan asosiasi, bukan perseorangan. “GAPKI dan APHI itu apakah ini di daerah-daerah lain selain Medan, misalnya di Jawa, Kalimantan apakah ini juga sudah mewakili?” tanyanya.
Di samping itu, Manahan juga menyarankan agar para Pemohon dapat menambahkan undang-undang lain yang tidak dicantumkan sehingga elaborasi dalam permohonan lebih terlihat. “Selain itu, perlu ditambahkan pada bagian legal standing. Para Pemohon menyebutkan kerugian dari para Pemohon (dari asosiasi) di mana ada nilai gugatan mencapai 3 triliun, namun kemudian ada muncul nilai gugatan sebesar 1 triliun. Hal ini ini dari mana ini? Bisa dijelaskan nanti,” terang Manahan.
Manahan menekankan Pasal 69 ayat (2) UU PPLH sangat bersifat teknis. “Dengan demikian, para Pemohon harus menjelaskan kerugian konstitusionalnya dan bukan hanya menyampaikan perkara pernah digugat di mana-mananya,” imbuhnya.
Sejalan dengan itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo pun meminta para Pemohon untuk mencari benang merah dari pernyataan “pertanggungjawaban pidana, tanpa kesalahan”. “Ini merupakan karakter spesifik dalam kehutanan utamanya di Indonesia. Ini memang di dalam sistem hukum Indonesia mengenai ‘tiada pidana, tanpa kesalahan’ itu berbeda dengan ‘common law’. Jadi coba jelaskan korelasi keduanya” pinta Suhartoyo.
Sementara, Hakim Konstitusi Palguna memberikan dua penekanan terkait dalil para Pemohon. Pertama terkait legal standing kedua asosiasi sebagai Pemohon. “Apakah asosiasi ini berkaitan langsung dengan kerugiaan konstitusional? Hal kedua adalah kuasa diberikan oleh masing-masing kuasa asosiasi, siapa yang dapat bertindak dalam asosiasi itu sehingga mengatasnamakan asosiasi? Apakah asosiasi mengalami kerugian langsung juga atau bagaimana?” tanya Palguna.
Oleh karena itu, Palguna meminta Pemohon mempertegas kerugian konstitusionalnya. “Pada bagian petitum 2, hal yang dipermasalahkan adalah penjelasan, tetapi yang inkonstitusional malah pasalnya. Jadi, pertegas lagi kerugian konstitusional para Pemohon itu yang mana,” tegas Palguna.
Pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonan selama empat belas hari ke depan. Sidang selanjutnya akan digelar pada Jumat, 9 Juni 2017 pada pukul 10.00 WIB.
(Sri Pujianti/lul)