Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (24/5).
Pemohon perkara Nomor 24/PUU-XV/2017 tersebut adalah Djan Faridz yang ditetapkan sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sesuai Akta Nomor 17 Tanggal 7 November 2014 tentang Pernyataan Ketetapan Muktamar VIII mengenai Susunan Personalia Pengurus DPP PPP periode 2014-2019.
Pemohon merasa dirugikan haknya karena seharusnya Pemohon adalah yang berhak untuk disahkan sebagai Ketua Umum DPP PPP oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, walaupun telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) akibat norma Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 33 UU Parpol dan Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada.
“Pasal-pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang adil bahwa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM dengan mengesahkan kepengurusan yang sah menurut putusan pengadilan tersebut,” kata Ahmad, kuasa hukum Pemohon.
Menurut Pemohon, Pasal 33 UU Parpol serta frasa “dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia” dalam Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada telah memberikan kemungkinan bagi Menteri Hukum dan HAM untuk mencampuri perselisihan internal parpol, bahkan sampai tingkat memutuskan pihak mana yang sah dengan mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pemohon beranggapan, seharusnya kewenangan memutuskan perselisihan partai politik merupakan kewenangan lembaga peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman.
Menurut Pemohon, hal tersebut secara langsung atau tidak langsung melanggar prinsip negara hukum dan prinsip jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Nasihat Hakim
Menanggapi dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan pasal yang diuji sebenarnya sudah berkali-kali dimohon pengujian ke MK. “Jika harus dilanjutkan pengujiannya, harus menggunakan dalil yang berbeda dari yang sebelumnya,” kata Saldi.
Selain itu Saldi menilai Pemohon terlalu menjelaskan kasusnya secara detail sehingga menjadi kasus konkret. Padahal, ungkap Saldi, kewenangan MK adalah menguji norma undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Sementara itu, Wakil Ketua MK Anwar Usman selaku pimpinan sidang menilai petitum yang diajukan Pemohon adalah inkonstitusional bersyarat sehingga Pemohon harus memperkuat alasan pengujiannya. “Oleh karena itu harus ada alasan yang kuat dalam petitum yang diajukan Pemohon,” jelas Anwar.
Pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari. Sidang selanjutnya akan digelar Selasa (6/6) dengan agenda perbaikan permohonan.
(Nano Tresna Arfana/lul)