Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan yang dimohonkan oleh terdakwa kasus asusila artis, Robby Abbas. Putusan bernomor 132/PUU-XIII/2015 tersebut dibacakan Ketua MK Arief Hidayat dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi lainnya pada Rabu (5/4).
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Suhartoyo, Pemohon meminta agar Mahkamah memasukkan perzinaan yang sudah tercantum dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP menjadi bagian dari Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP. Pasal 284 ayat (1) KUHP mengatur mengenai perbuatan perzinaan antara laki-laki dewasa yang tidak terikat pernikahan dengan perempuan dewasa yang tidak terikat pernikahan atas dasar suka sama suka. Mengenai dalil tersebut, Mahkamah menilai dalil tersebut menempatkan Mahkamah sebagai pembuat kebijakan kriminal (criminal policy maker). Padahal, pembuat kebijakan kriminal adalah negara dalam hal ini Pembentuk Undang-Undang (DPR bersama Pemerintah).
Suhartoyo melanjutkan persoalan hukum yang dipermasalahkan Pemohon adalah kebijakan kriminal dalam arti menjadikan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana. Padahal, lanjutnya, kebijakan demikian adalah politik hukum pidana yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Namun persoalan hukum tersebut terkait dengan pidana yang berkait dengan penghukuman terhadap orang/manusia, sehingga Pembentuk Undang-Undang pun harus sangat hati-hati dalam merumuskan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar feit). Selain itu, lanjutnya, menyatakan suatu perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana harus mendapat kesepakatan dari seluruh rakyat yang diwakili oleh para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden.
“Dengan demikian, maka dalam hubungannya dengan permohonan a quo, persoalannya adalah bukan terletak pada konstitusionalitas norma melainkan pada persoalan politik hukum dalam hal ini politik hukum pidana. Berdasarkan seluruh uraian di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujarnya.
Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 296 KUHP dan Pasal 506 KUHP sebab hanya mengatur pemidanaan bagi perantara atau penghubung jasa tindak asusila saja. Pasal 296 KUHP menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
Pasal 506 KUHP menyatakan, “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”.
Sebelumnya, Pemohon ditangkap terkait kasus tindak asusila yang ditengarai melibatkan sejumlah artis di Indonesia dan didakwa dengan Pasal 256 dan Pasal 506 KUHP. Pemohon kemudian divonis dengan hukuman penjara 1 tahun 4 bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 26 Oktober 2015 silam. Akan tetapi, para pihak yang menghubungi Pemohon untuk menggunakan jasa artis dengan memberikan imbalan sejumlah uang tidak dikenakan sanksi pidana. Dalam persidangan kasus Pemohon, para pihak tersebut hanya dijadikan saksi saja. Pemohon menegaskan, Pasal 256 dan Pasal 506 KUHP hanya dikenakan kepada seseorang yang menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul saja. Sedangkan terhadap pihak lain yang terlibat dalam tindakan tersebut secara langsung dan pihak yang mendapatkan keuntungan, tidak dikenakan pemidanaan. Pemberlakuan ketentuan itu, menurut Pemohon, tidak mencerminkan hukum adat, hukum agama dan hukum nasional. Oleh karena itu, dalam petitum-nya, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 256 dan Pasal 506 KUHP inkonstitusional secara bersyarat.
(LA/lul)