Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tidak dapat menerima uji materiil Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Selasa (21/2). Dalam putusannya, Mahkamah menilai pemohon perkara Nomor 94/PUU-XIV/2016 tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
“Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Arief Hidayat didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Membacakan pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyebut pemohon sama sekali tidak menguraikan kerugian konstitusional yang dialami oleh berlakunya norma undang-undang yang diujikan. “Di sini Pemohon sebatas menjelaskan peristiwa yang dialami oleh anak pemohon (kasus konkret). Ini sebenarnya masuk dalam ranah penerapan norma undang-undang,” jelasnya.
Khusus mengenai praperadilan, lanjutnya, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 102/PUU-XIII/2015, bertanggal 9 November 2016. Mahkamah telah memberikan pemaknaan terhadap frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP.
Sebelumnya Moch Dyono sebagai pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dan Pasal 7 ayat (2) huruf a, Pasal 32 ayat (2) huruf b UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Anak pemohon yang berusia 17 tahun 11 bulan ditahan oleh Polsek Gayungsari Surabaya pada 22 Juli 2016 lalu karena kasus curanmor. Saat ditangkap, pemohon mengaku anaknya dianiaya oleh massa dan pihak kepolisian sehingga harus dirawat di rumah sakit.
Awalnya, anak pemohon dijerat Pasal 362 KUHP dalam surat penahanannya. Namun kemudian pasal yang digunakan untuk memenjarakan anak pemohon berubah menjadi Pasal 363. Akhirnya, Pemohon mengajukan praperadilan terhadap penangkapan anak Pemohon. Namun, sebelum sidang praperadilan berjalan, tiba-tiba pokok perkaranya sudah berjalan di Pengadilan Negeri Surabaya.
Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP mengatur bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penuntutan. Sementara Pasal 32 ayat (2) huruf b mengatur bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
Ketentuan-ketentuan tersebut, menurut pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa tiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Selain itu, pemohon juga menganggap ketentuan sistem peradilan anak dimaksud bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang memerintahkan tiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Terkait hal itu, pemohon mempersoalkan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang dianggap sebagai penyebab gugurnya permohonan praperadilan pemohon. Pasal tersebut dianggap merugikan anak pemohon saat dijadwalkan sidang praperadilan yang seharusnya tanggal 15 Agustus, menjadi tanggal 11 Agustus. Oleh karena itu, pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, juga Pasal 7 ayat (2) huruf a, Pasal 32 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
(ARS/lul)