Sidang pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (Perpu No. 51/1960) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (20/2). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan tiga saksi pemohon.
Hendri Yaneppi, salah satu korban penggusuran dari Kampung Pulo, Kampung Melayu Jakarta Timur pada 20 Agustus 2015 memaparkan pengalamannya. “Saya orangtua tunggal, masih harus menghidupi dua orang anak yang masih berpendidikan di SMP dan SMK. Saat ini saya tinggal dengan terpaksa di rumah susun Jatinegara Barat karena sudah tidak memiliki rumah lagi,” ujar Hendri kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Dijelaskan Hendri, ia tinggal di Kampung Pulo sejak usia 9 bulan, tepatnya pada 1964. Sebagian besar warga Kampung Pulo memiliki kepemilikan surat yang beragam, ada sertifikat, hak jual beli, verponding, serta girik. Orangtuanya saat itu membeli rumah pada orang asli Kampung Pulo yang bernama Bapak H. Husein. Transaksi jual-beli rumah dan tanah tersebut dikelola oleh RT dan RW yang langsung dilegalkan kelurahan setempat. Kala itu, orangtuanya tidak mengerti hukum pertanahan dan pemerintah juga tidak pernah memberikan pengetahuan hukum tanah, sehingga mereka tidak mengerti kalau tanah mereka sudah tidak dianggap. Tahun 1960-an warga Kampung Pulo sempat ingin meningkatkan hak kepemilikan tanah menjadi sertifikat, tapi harus melalui proses berbelit dan mengeluarkan biaya yang cukup besar.
Tahun 2015, lanjutnya, Joko Widodo yang saat itu menjadi Gubernur Jakarta pernah berkunjung ke Kampung Pulo. Pria yang akrab disapa Jokowi itu mengatakan berencana akan menormalisasi kali Ciliwung. Bagi yang terkena normalisasi, imbuhnya, akan diberi penggantian baik rumah, pohon, sampai kandang ayam. Tapi setelah kepemimpinan Ahok sebagai Gubernur Jakarta, tiba-tiba rencana itu berubah. Warga yang terkena normalisasi hanya yang bersertifikat dan diganti uang. Bagi yang tidak bersertifikat, Hendri mengaku dipindahkan ke rumah susun Jatinegara Barat dan membayar Iuran Pemeliharaan Lingkungan sebesar Rp 300.000 per bulan. Warga Kampung Pulo sepakat membawa kasus tersebut ke jalur hukum. Namun tiba-tiba pada Juli 2015, justru mereka mendapat ganjaran SP1, SP2, lanjut ke SP3 dari pemerintah.
“Kita masih dalam proses jalur hukum, mengapa dari pihak pemerintah itu masih melakukan penggusuran terhadap kami. Apakah kekuasaan ini lebih tinggi daripada hukum? Rumah kami dihancurkan hingga terjadi konflik. Sejumlah warga mengalami luka-luka dan ada yang ditangkap sebanyak dan dituduh sebagai provokator. Tapi itu semua tidak dianggap oleh pemerintah dan sampai terjadilah penggusuran pada 20 Agustus 2015,” pungkas Hendri.
Saksi pemohon berikutnya adalah Gandi Yakub Hamid, korban penggusuran di kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat. Ia dan seluruh warga Duri Kepa mengaku telah menghuni kawasan tersebut lebih dari 20 tahun dan membeli tanah dari seorang jawara yang menduduki lahan itu. Melalui hasil pembelian tersebut, mereka mendapatkan akta jual beli dan rutin membayar pajak bumi dan bangunan setiap tahunnya.
Selama 10 tahun terakhir, Gandi bersama warga Duri Kepa sudah beberapa kali mencoba mendaftarkan tanah mereka ke Badan Pertanahan Nasional, tapi selalu ditolak dengan berbagai macam alasan. Misalnya, harus mempunyai 1000 meter tanah dan itu digunakan untuk kepentingan umum. “Saya merasa bingung karena saya sama sekali tidak mengetahui apa sebabnya saya menjadi korban penggusuran, informasi yang kami dapatkan simpang siur. Muncul berbagai versi, ada yang bilang bahwa lahan tersebut untuk proyek normalisasi mengembalikan lahan Haji Ramli ataupun penertiban aset pemerintah daerah. Kita juga coba mengklarifikasi informasi kebenaran tersebut dengan menuliskan surat kepada lurah setempat dan juga Biro Hukum Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta agar dapat bertemu, tapi sama sekali kita tidak pernah digubris oleh aparat,” papar Gandi.
Lain lagi dengan yang dialami Anzori. Ia adalah korban penggusuran paksa oleh Pemprov DKI Jakarta di Kelurahan Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia mengaku pada 25 Agustus 2008, petugas Pemprov DKI Jakarta datang secara mendadak untuk melakukan penggusuran.
“Saya sedih sekali, Yang Mulia. Waktu digusur, saya punya anak yang masih bayi yang tidur dalam tempat tidur kayu. terbuat dari kayu bekas. Meskipun saya sudah coba menghalangi, tempat tidur bayi saya tetap dihancurkan oleh Satpol PP. Saya ingat waktu itu bayi dan istri saya menangis karena kami tidak punya apa-apa lagi,” ungkapnya sedih.
Permohonan teregistrasi Nomor 96/PUU-XIV/2016 dimohonkan oleh Rojiyanto, Mansur Daud P., dan Rando Tanadi. Para pemohon adalah korban penggusuran paksa yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Rojiyanto merupakan korban penggusuran paksa di daerah Papanggo, Jakarta Utara, yang dalam proses penggusuran terjadi kekerasan. Terhadap penggusuran tersebut, ua mengajukan gugatan ke Pengadilan hingga tingkat kasasi namun pemohon tetap kalah karena dalam putusannya disebutkan bahwa Perpu No. 51/1960 tidak mewajibkan pemerintah memberikan ganti rugi kepada warga korban penggusuran paksa.
Sementara itu, Mansur Daud merupakan korban penggusuran paksa di kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat dan Rando Tanadi merupakan seorang pelajar yang terpaksa putus sekolah dan tidak memiliki lagi tempat tinggal karena penggusuran.
Para pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Perppu No. 51/1960. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang kewenangan penguasa daerah yang dapat memaksa pengguna lahan untuk mengosongkan lahannya. Menurut para pemohon ketentuan tersebut hanya dapat diterapkan pada negara dalam keadaan bahaya, bukan dalam situasi damai untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga negara.
(Nano Tresna Arfana/lul)