Tiga ahli pemohon memberikan keterangan dalam sidang lanjutan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (Perppu No. 51/1960), Rabu (25/1). Ketiganya adalah Yance Arizona, Deden Rukmana, Rita Padawangi yang memberikan keterangan secara terpisah melalui teleconference MK karena sedang berada di luar negeri.
Manajer Program Hukum dan Masyarakat Epistema Institute Yance Arizona mengatakan Perppu No. 51/1960 ditujukan untuk melindungi pemegang hak atas tanah yang sah. “Sebagaimana kita bisa cermati dalam undang-undang ini, dalam penjelasan dinyatakan bahwa pemakaian tanah secara tidak teratur, lebih-lebih yang melanggar norma hukum benar-benar menghambat. Bahkan seringkali tidak memungkinkan lagi dilaksanakan rencana pembangunan dalam berbagai lapangan,” ujar Yance kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Melihat secara konseptual, sambung Yance, Perppu No. 51/1960 dibuat karena terjadi banyak penyerobotan tanah di perkotaan, termasuk tanah perkebunan, pabrik-pabrik, yang hak atas tanah dari para pemegang hak tanah tersebut harus dilindungi.
“Sehingga ketika keadaan sudah tidak lagi dalam keadaan bahaya, undang-undang ini tidak lagi diperlukan. Campur tangan pemerintah tidak lagi diperlukan untuk mempertahankan hak atas tanah individu, warga negara dan badan hukum. Karena untuk mempertahankan haknya tersebut, individu dan badan hukum sudah bisa menempuh prosedur hukum ke pengadilan perdata apabila seseorang menggunakan tanahnya tanpa izin atau melaporkan sebagai tindak pidana kepada kepolisian,” papar Yance yang sedang berada di Leiden, Belanda.
Selain itu, kata Yance, terdapat beberapa norma yang tidak lagi dapat dipertahankan dalam situasi normal yang sudah tidak lagi dalam keadaan bahaya. Misal, penjelasan angka 5 dalam undang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945. Dalam penjelasan tersebut, dikatakan pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pula dengan hukuman pidana.
Sementara itu Deden Rukmana selaku ahli perencanaan kota dan tata ruang menjelaskan bahwa kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang sangat yang mesti dihilangkan tapi tidak dengan menggusur masyarakat telah bermukim lama di lokasi tersebut.
“Menggusur adalah hanya sekadar memindahkan kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak berkurang. Bagi orang yang tergusur malahan penggusuran ini akan semakin menyulitkan kehidupan mereka karena mereka mesti beradaptasi dengan lokasi pemukimannya yang baru,” ungkap Deden yang tengah berada di Georgia, Amerika Serikat.
Deden mencontohkan kasus di Amerika Serikat sebagai perbandingan. Pendekatan peremajaan kota sering dilakukan pada 1950 dan 1960-an. Kala itu pemukiman-pemukiman masyarakat miskin di tiap kota digusur dan diganti dengan kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih baik. Peremajaan kota ini menciptakan kondisi fisik perkotaan yang lebih baik, tapi sarat dengan masalah sosial. Kemiskinan hanya berpindah saja dan masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan karena akses mereka terhadap pekerjaan yang semakin sulit.
“Peremajaan kota yang dilakukan saat itu sering disesali para ahli perkotaan karena menyebabkan masalah sosial seperti kemiskinan perkotaan semakin akut, gelandangan, dan kriminalitas. Menyadari kesalahan yang dilakukan masa lalu, pada awal 1990-an kota-kota di Amerika Serikat lebih banyak melibatkan masyarakat miskin dalam pembangunan perkotaannya dan tidak lagi menggusur mereka untuk menghilangkan kemiskinan di perkotaan,” tandas Deden.
Sedangkan Rita Padawangi selaku sosiolog berpendapat Perppu No. 51/1960 semakin merenggut kehidupan dan mata pencaharian masyarakat miskin. Deskripsi tempat yang "tidak teratur" sering mengakibatkan tersingkirnya kampung-kampung kota.
“Kita lihat selama ini penggusuran paksa di Jakarta menggunakan undang-undang ini sebagai salah satu dasar hukumnya. Selalu menimpa wilayah-wilayah yang kita kenal sebagai kampung kota,” kata Rita.
Kampung kota, ujar Rita, adalah bentuk pemukiman yang terbentuk secara organik dan menjadi ciri khas kehidupan kota-kota di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Penduduk sebuah kampung biasanya relatif saling mengenal satu sama lain dan dalam kampung terdapat ekonomi lokal yang sangat erat kaitannya dengan hubungan sosial dan kultural antara penduduknya.
“Kampung kota seperti yang banyak digusur belakangan ini selain merupakan rumah bagi banyak penduduk lama yang sudah turun-temurun di sana, juga berfungsi sebagai penyangga kebutuhan pembangunan perkotaan,” imbuh Rita yang sedang berada di Singapura.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 96/PUU-XIV/2016 ini dimohonkan oleh Rojiyanto, Mansur Daud P., dan Rando Tanadi. Para Pemohon adalah korban penggusuran paksa yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Rojiyanto merupakan korban penggusuran paksa di daerah Papanggo, Jakarta Utara, yang dalam proses penggusuran terjadi kekerasan. Terhadap penggusuran tersebut, ia mengajukan gugatan ke Pengadilan hingga pada tingkat kasasi namun kalah. Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa Perppu No. 51/1960 tidak mewajibkan pemerintah memberikan ganti rugi kepada warga korban penggusuran paksa.
Sementara, Mansur Daud merupakan korban penggusuran paksa di kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat. Ia diberikan surat peringatan dari pemerintah daerah yang ditujukan atas nama Asun, dkk, namun sepengetahuannya di daerah tersebut tidak ada yang bernama Asun. Kemudian, Rando adalah seorang pelajar dan akibat dari penggusuran, ia terpaksa putus sekolah dan tidak memiliki lagi tempat tinggal.
Para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Perpu No. 51/1960. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang kewenangan penguasa daerah yang dapat memaksa pengguna lahan untuk mengosongkan lahannya. Menurut pemohon ketentuan tersebut hanya dapat diterapkan pada negara dalam keadaan bahaya, bukan dalam situasi damai untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga negara.
(Nano Tresna Arfana/lul)