Sejarawan J.J. Rizal menyinggung frasa ‘keadaan bahaya’ yang tertuang dalam bagian Menimbang pada Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak Atau Kuasanya. Menurutnya, merujuk pada frasa ‘keadaan bahaya’, seharusnya undang-undang tersebut tidak berlaku lagi.
Hal tersebut disampaikan Rizal dalam sidang perkara Nomor 96/PUU-XIV/2016 yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Selasa (10/1) di ruang sidang MK. Ia menjelaskan keadaan bahaya dalam negara sebenarnya bukan hal yang baru. Situasi bahaya pada zaman kolonial sekitar tahun 1920 dan 1930-an sudah ada dan disebut Staat van Orlocht en Belach(SOB). Artinya, negara dalam keadaan perang dan darurat.
“Kenapa setelah kita merdeka, istilah ini dihidupkan kembali? Itu karena memang situasinya dirasakan terutama setelah penyerahan kedaulatan pada akhir 1949. Orang semua berpikir akan mendapatkan keadaan damai, aman, tenteram. Tapi kenyataannya malah terbalik,” jelasnya sebagai ahli yang dihadirkan pemohon.
Rizal menuturkan sejumlah pemberontakan di masa lalu. Ada pemberontakan Andi Azis di Sulawesi Selatan, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Setelah itu RMS dibubarkan dan menyisakan pasukan KNIL pro Belanda yang kemudian membuat banyak kerusuhan. “Situasi ini mulai menghidupkan kembali istilah SOB. Situasi tersebut mengakibatkan ekonomi sangat buruk, kelaparan di mana-mana, wabah penyakit merajalela. Bukan hanya penyakit seperti busung lapar, tapi juga penyakit-penyakit sosial,” imbuhnya.
Namun, Rizal menegaskan konteks negara dalam keadaan bahaya sebenarnya memiliki usia. Hal itu bertolak belakang dengan masih hidupnya UU 51 PRP 1960 sampai saat ini. Undang-undang tersebut, jelas Rizal, dijadikan alasan praktik pengambilan tanah berbasis pada keadaan darurat. “Begitu juga ketika Undang-Undang Pembaharuan Agraria diberlakukan pada Tahun 1960 yang mengatur secara jelas bagaimana pengalihan lahan itu, seharusnya undang-undang yang berbasis pada keadaan bahaya tidak berlaku lagi,” tegasnya.
Pernyataan Rizal ditegaskan Pakar Agraria Yudi Bachrioktora sebagai ahli pemohon lainnya. Ia menjelaskan istilah SOB pada masa silam bukan semata-mata keadaan bahaya seperti negara terancam, baik dalam kondisi peperangan maupun dalam kondisi internal, segala pergolakan, pemberontakan, maupun bencana alam.
“Tapi pada 1957 hingga 1960 (SOB, red) juga merupakan bagian dari pergulatan politik internal kita, baik politik internal yang dilakukan oleh Presiden Soekarno maupun juga oleh kepentingan Angkatan Darat,” ucap Yudi.
Dikatakan Yudi, kelahiran Perppu No. 51/1960 awalnya jika dicermati dengan baik, disusun untuk kepentingan pengambilalihan kembali sejumlah tanah-tanah yang digunakan untuk perkebunan. “Dan kemudian pada tahun 1957 hingga tahun 1959, kita kenal dengan yang namanya era nasionalisasi,” ujarnya.
Penggusuran di Jakarta
Sementara itu, Evi Mariani Sofian selaku saksi yang dihadirkan pemohon menuturkan pengalamannya sebagai wartawan yang banyak meliput penggusuran di Jakarta. Misalnya, pada masa pemerintahan Gubernur Sutiyoso, ia meliput penggusuran komunitas nelayan di Kali Adem Muara Angke, penduduk di dekat Taman Anggrek yang sekarang menjadi Podomoro City, warga Jakarta di Waduk Ria Rio di Jakarta Timur, dan beberapa tempat lainnya.
“Dalam beberapa kejadian, saya sendiri turun ke lapangan untuk meliput penggusuran itu sendiri. Kami juga meliput keadaan warga sesudah penggusuran, baik yang tidak mendapat rusunawa maupun yang mendapatkan rusunawa,” jelas Evi yang kini menjadi redaktur The Jakarta Post.
Dari pengamatan Evi meliput penggusuran, kebanyakan penggusuran dilakukan dengan menggunakan alat berat yang menghancurkan rumah dengan paksa. Dalam banyak kasus, warga tidak diberi kesempatan cukup luang untuk mengajukan keberatan di pengadilan. Contohnya, pada kasus Kampung Pulo, keberatan diajukan setelah rumah mereka rata dengan tanah. Dalam beberapa kasus penggusuran, bahkan ada yang tidak sempat menyelamatkan barang mereka sendiri. Di samping itu, saat penggusuran ada proses pemiskinan yang terjadi.
“Dalam kasus penggusuran komunitas nelayan di Muara Angke tahun 2003, saya mendapat cerita dari warga nelayan bahwa keluarga mereka telah mengalami penggusuran selama tiga generasi,” tandas Evi kepada Majelis Hakim.
Pada sidang perdana, Rojiyanto (Pemohon I), Mansur Daud P. (Pemohon II), dan Rando Tanadi (Pemohon III) merupakan korban penggusuran paksa oleh pemerintah daerah. Pemohon I merupakan korban penggusuran paksa di daerah Papanggo, Jakarta Utara, yang dalam proses penggusuran terjadi kekerasan. Terhadap penggusuran tersebut, Pemohon mengajukan gugatan ke Pengadilan hingga pada tingkat kasasi namun Pemohon tetap kalah karena dalam putusannya disebutkan bahwa Perpu No. 51/1960 tidak mewajibkan pemerintah memberikan ganti rugi kepada warga korban penggusuran paksa.
Sementara itu, Pemohon II merupakan korban penggusuran paksa di kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat. Pemohon diberikan surat peringatan dari pemerintah daerah yang ditujukan atas nama Asun, dkk, namun sepengetahuan pemohon di daerah tersebut tidak ada yang bernama Asun. Kemudian, Pemohon III adalah seorang pelajar dan akibat dari penggusuran terpaksa putus sekolah dan tidak memiliki lagi tempat tinggal.
Para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Perpu No. 51/1960. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang kewenangan penguasa daerah yang dapat memaksa pengguna lahan untuk mengosongkan lahannya. Menurut pemohon, ketentuan tersebut hanya dapat diterapkan pada negara dalam keadaan bahaya, bukan dalam situasi damai untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga negara.
(Nano Tresna Arfana/lul)