Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Endang Wihdatiningtyas menegaskan bahwa Pasal 22B dan Pasal 152 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga tidak perlu dilakukan judicial review terhadap undang-undang tersebut.
Pasal 22B UU No. 10/2016 menyebutkan, “Tugas dan wewenang Bawaslu dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a. menyusun dan menetapkan Peraturan Bawaslu dan pedoman teknis pengawasan untuk setiap tahapan Pemilihan serta pedoman tata cara pemeriksaan, pemberian rekomendasi, dan putusan atas keberatan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.”
Sedangkan Pasal 152 UU a quo berbunyi, “(1) Untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resort, dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk sentra penegakan hukum terpadu.”
“Pasal-pasal ini adalah yang menyebutkan Bawaslu harus melakukan konsultasi dengan DPR terkait dengan penyusunan peraturan serta peraturan bersama yang mengatur tentang peraturan sentra Gakkumdu antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan,” kata Endang yang memberikan keterangan Pihak Terkait dalam sidang lanjutan uji materi UU Pilkada pada Rabu (7/12) siang.
Bawaslu beranggapan bahwa dalam berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam Forum rapat dengar pendapat (RDP), kedudukan antara DPR, Pemerintah, dan Bawaslu adalah sama. Bawaslu dapat menerima atau menolak pendapat dari DPR dan Pemerintah sampai diperolehnya kesimpulan hasil RDP.
“RDP yang telah disepakati bersama tersebutlah yang menjadi dasar bagi Bawaslu dalam mengeluarkan Peraturan Bawaslu dan pedoman teknis pengawasan dan tahapan pemilihan, serta pedoman tata cara pemeriksaan, pemberian rekomendasi, dan putusan atas keberatan dari sisi substansi dan materi,” imbuh Endang dalam sidang uji materi Perkara No. 92/PUU-XIV/2016 ini.
“Salah satu metode penafsiran hukum dapat dilakukan dengan cara menelusuri alasan suatu norma dalam undang-undang dirumuskan oleh para pembentuk undang-undang. Peraturan Bawaslu sebagai peraturan teknis pengawasan penyelenggaraan pemilu, pengaturannya tidak dapat keluar dari maksud suatu norma yang telah dirumuskan dalam undang-undang,” urai Endang.
Bagi Bawaslu, mekanisme konsultasi kepada pembentuk undang-undang memberikan manfaat tersendiri agar rumusan norma dalam peraturan Bawaslu tidak keluar dari konteks dan maksud norma undang-undang yang dirumuskan dan tidak bertentangan dengan norma-norma dalam UU No. 10/2016, sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan jiwa undang-undang tersebut.
“Mekanisme konsultasi ke pembentuk undang-undang layaknya proses diskusi antarlembaga negara, seperti antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung atau antara Bawaslu dengan Komisi Pemilihan Umum,” jelas Endang kepada Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman selaku pimpinan sidang.
Sebagaimana diketahui, pada sidang pemeriksaan pendahuluan seluruh Komisioner KPU melakukan uji materi mengenai ketentuan Pasal 9 huruf a UU Pilkada yang mengharuskan KPU berkonsultasi pada DPR dan Pemerintah dalam membuat Peraturan KPU.
Bagi Pemohon, pasal tersebut mengancam kemandirian KPU. Keterlibatan DPR dinilai begitu sentral dan menentukan kewenangan KPU dalam menyusun dan menetapkan Peraturan KPU. Menurut Pemohon, seharusnya lembaga penyelenggara Pemilu tidak boleh tunduk pada arahan dari pihak lain, baik itu pihak berwenang maupun partai politik.
(Nano Tresna Arfana)