Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil UU No 8 Tahun 2011 Tentang MK, UU No 48 tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman, dan UU No 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Senin (5/12) dengan agenda perbaikan permohonan. Perkara dengan registrasi No. 105/PUU-XIV/2016 ini diajukan oleh sejumlah advokat muda yang tergabung dalam organisasi Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI).
Kuasa Hukum Pemohon Saeful Anam menjelaskan beberapa poin perubahan. Pertama, terkait kedudukan hukum pihaknya. Yakni sudah menjelaskan satu per satu dan sudah dikurangi bagi yang berkomitmen untuk hadir di sidang siapa saja.
Kemudian, kata dia, tentang kewenangan MK sebagaimana masukan Hakim Konstitusi Suhartoyo pada sidang sebelumnya, pihaknya sudah memasukkan tentang pasal-pasal yang diujikan. “Pada poin 5, berdasarkan uraian angka 1 sampai dengan 4 di atas, maka tidak ada keraguan sedikit pun bagi Pemohon untuk menyimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan Pemohon,” jelasnya.
Terakhir, pihaknya juga kami sudah melakukan revisi tentang kedudukan hukum (legal standing). Dimana telah memasukkan beberapa kerugian konstitusional yang berkaitan dengan hal-hal yang pernah dialaminya. Misal mendampingi klien dalam hal melakukan praperadilan . Dimana penuntut umum menyatakan praperadilan bukan merupakan bagian dari objek penetapan tersangka dan juga objek dari praperadilan.
Sebelumnya, para Pemohon ini meminta agar Mahkamah memberikan penegasan pada Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 untuk UU MK, Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 7 ayat (2) huruf I UU Administrasi Pemerintahan tentang kewajiban mematuhi putusan MK. Para Pemohon menilai selama ini fakta di lapangan Putusan MK banyak yang bersifat non-excutiable (tidak dapat dijalankan) sehingga tidak cukup apabila tetap menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum kepada pihak manapun (baik pemerintah, pejabat publik, perseorangan, badan hukum dan lain sebagainya) MK untuk melaksanakan putusan MK. Untuk itu perlu upaya paksa dalam usaha melaksanakan Putusan MK. Yakni mesti tercantum secara langsung melalui pasal-pasal yang berkaitan kekuatan mengikat Putusan MK. (ARS)