Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Rabu (30/11). Agenda sidang perkara No 85/PUU-XIV/2016 adalah mendengar keterangan Ahli yang dihadirkan oleh Pemohon.
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran I Gde Pantja Astawa menyampaikan pandangannya terhadap permohonan pemohon dari perspektif hukum administrasi. Pertama, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, serta pihak lain merujuk pada Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5/1999. Oleh karena itu, menurutnya, keberadaan KPPU dibentuk tersendiri dan dikeluarkan oleh tugas dan tanggung jawab pemerintahan sehari-hari. Meskipun demikian, KPPU tetap bertanggung jawab secara langsung kepada presiden.
“Artinya keberadaan KPPU tetap berada dalam ranah pemerintahan atau eksekutif. Namun dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya dijamin independensinya, dari pengaruh fungsi-fungsi pemerintahan sehari-hari,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Independensi dan kualitas KPPU, imbuhnya, dijamin oleh undang-undang, baik secara struktural maupun secara fungsional. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPPU tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang yang lain. Demikian pula, KPPU tidak boleh diintervensi untuk kepentingan politik atau kepentingan bisnis pihak-pihak yang terkait.
Kedua, lanjutnya, dari segi fungsi KPPU adalah lembaga yang menjalankan fungsi administratif, sekaligus fungsi yustisial. Fungsi administratif KPPU nampak pada ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang menyebutkan, “Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini, dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.” Nomenklatur KPPU adalah hukum administrasi karena berkenaan dengan instrumen penegakan hukum dalam hukum administrasi negara.
Sementara Ahli Hukum Pidana Chairul Huda memandang wewenang penyelidikan di dalam UU No. 5/1999 itu justru sangat berbahaya karena memungkinkan sikap overreacting terhadap suatu peristiwa dan upaya-upaya paksa yang sifatnya eksesif. “Yang lebih bermasalah lagi sebenarnya umumnya penyelidikan dan harusnya juga penyelidikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini tidak bisa diuji keabsahannya karena yang bisa diuji keabsahannya adalah tindakan penyidik,” kata dia.
Selain itu, dia juga memandang aneh undang-undang a quo, khususnya yang mengatur kewenangan penyelidikan tanpa ada kewenangan pengaturan berkenaan dengan kewenangan penyidikan. “Penyelidikan dalam literatur disebut inquiry, oleh karenanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyidikan. Sehingga kalau menurut pendapat saya, justru yang harusnya menjadi bagian penting yang diatur di dalam undang-undang ini, kalau memang ingin diberi kewenangan untuk melakukan penegakan hukum dari segi hukum pidana, adalah kewenangan penyidikan. Bukan kewenangan penyelidikan,” jelasnya.
Sebelumnya Pemohon adalah badan hukum, PT. Bandung Raya Indah Lestari yang mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 22, 23, 24, Pasal 26 huruf c, d, h, i, Pasal 41 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 44 ayat (4), ayat (5). Dalam persidangan, Pemohon diwakili kuasa hukumnya, Muhammad Ainul Samsu.
Permohonan berkaitan dengan keputusan KPPU Nomor 12/KPPU-L/2015, yang membatalkan proses pelelangan Badan Usaha yang menurut Pemohon telah dimenangkannya secara jujur, fair dan terbuka.
Dalam dalil permohonannya, Pemohon merasa dirugikan dengan pasal-pasal tersebut yang tidak mengatur secara jelas dan tegas kedudukan KPPU. “Apakah sebagai lembaga administratif yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan secara administatif ataukah sebagai penegak hukum pidana yang berwenang melakukan penyelidikan,” jelas Ainul.
Lebih lanjut menurut Pemohon, frasa “pihak lain” dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU 5/1999 tidak memberikan kepastian hukum karena frasa “pihak lain” bersifat multitafsir dan tidak jelas sehingga membuka ruang bagi lembaga tertentu untuk bertindak sewenang-wenang. Menurut Pemohon frasa “pihak lain” seharusnya dimaknai sebagai frasa “pelaku usaha lain”.
Selain itu Pemohon menganggap frasa “penyelidikan dan atau pemeriksaan” dalam Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i dan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/1999 tidak memberikan kepastian hukum karena seolah-olah KPPU ataupun unit kerja di dalamnya mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Ketidakjelasan pengaturan tersebut dapat memberikan celah hukum karena KPPU dapat serta merta menjadikan hasil pemeriksaan administratif sebagai hasil penyelidikan. (ars/lul)