Sidang lanjutan uji materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasa (Perppu No. 51/1960) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (29/11). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah yang diwakili Iing R. Sadikin Arifin selaku Tenaga Ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang.
Pemerintah menanggapi dalil Pemohon bahwa Perppu No. 51/1960 mengadopsi asas kolonial yang sudah tidak berlaku setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960. Pemerintah menilai anggapan Pemohon tersebut merupakan sesuatu kekeliruan karena Perppu No. 51/1960 tidak menggunakan asas domein verklaring yang pada intinya menyatakan terhadap semua tanah yang pihak lain tidak dapat tanah itu miliknya adalah milik negara.
“Sedangkan tanah yang menjadi objek Perppu No. 51 Tahun 1960 adalah tanah yang sudah ada hubungan hukumnya dengan pemilik tanah, baik sudah bersertifikat maupun yang belum bersertifikat yang dijamin oleh konstitusi dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil oleh sewenang-wenang oleh pihak siapapun,” urai Iing.
Dikatakan Iing, Perppu No. 51 Tahun 1960 merupakan amanah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah diberi kewenangan untuk mengatur, menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, pemanfaatan, serta mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
Selain itu, menurut Pemerintah, tidak benar bahwa Perppu No. 51 Tahun 1960 menciptakan absolutisme kekuasaan. Sebab, terhadap pihak keberatan atas pelaksanaan ketentuan dalam Perppu No. 51 Tahun 1960 terbuka kesempatan untuk mengajukan gugatan melalui peradilan umum. Seperti halnya dalam kasus ini, Pemohon telah mengajukan gugatan pengadilan, sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selanjutnya, Pemerintah memberikan keterangan terkait dalil Pemohon soal pasal pemidanaan, Pasal 6 ayat (1) butir a, b, c, dan d serta Pasal 6 ayat (2) Perppu No. 51 Tahun 1960 memberikan landasan bagi pemerintah untuk tindakan pengkriminalan ataupun pemidanaan ganda terhadap warga negara sedang menghadapi sengketa tanah atau menjadi objek penggusuran paksa. Terhadap dalil tersebut, Pemerintah memberi penjelasan bahwa Perppu No. 51 Tahun 1960 tidak mengandung unsur kriminalisasi.
“Hal ini jelas termuat dalam penjelasan Perppu No. 51 Tahun 1960 dinyatakan bahwa sebagai dasar kebijaksanaan dalam menggunakan wewenang-wewenang yang dimaksud terlebih dahulu haruslah diusahakan tercapaikan dengan jalan musyawarah dengan pihak-pihak yang bersangkutan,” ucap Iing.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 96/PUU-XIV/2016 ini dimohonkan oleh Rojiyanto (Pemohon I), Mansur Daud P. (Pemohon II), dan Rando Tanadi (Pemohon III). Para Pemohon adalah korban penggusuran paksa yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemohon I merupakan korban penggusuran paksa di daerah Papanggo, Jakarta Utara, yang dalam proses penggusuran terjadi kekerasan. Terhadap penggusuran tersebut Pemohon mengajukan gugatan ke Pengadilan hingga pada tingkat kasasi namun Pemohon tetap kalah karena dalam putusannya disebutkan bahwa Perpu 51/1960 tidak mewajibkan pemerintah memberikan ganti rugi kepada warga korban penggusuran paksa.
Sementara itu, Pemohon II merupakan korban penggusuran paksa di kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat. Pemohon diberikan surat peringatan dari pemerintah daerah yang ditujukan atas nama Asun, dkk, namun sepengetahuan Pemohon di daerah tersebut tidak ada yang bernama Asun. Kemudian, Pemohon III adalah seorang pelajar dan akibat dari penggusuran ini Pemohon terpaksa putus sekolah dan tidak memiliki lagi tempat tinggal.
Para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Perpu 51/1960. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang kewenangan penguasa daerah yang dapat memaksa pengguna lahan untuk mengosongkan lahannya. Menurut para Pemohon ketentuan tersebut hanya dapat diterapkan pada negara dalam keadaan bahaya, bukan dalam situasi damai untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga negara.
Pemohon juga menilai bahwa pasal-pasal tersebut membuka peluang keterlibatan angkatan perang di dalam penggusuran paksa yang dilaksanakan oleh pemda. Proses penggusuran tersebut juga kerap disertai tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap warga negara yang menjadi korban penggusuran paksa, dan mengabaikan prosedur relokasi warga negara yang berlandaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
Selain itu, kepemilikan tanah oleh para Pemohon sebagai warga negara yang sudah mendayagunakan tanah tersebut dalam jangka waktu lama juga dilindungi oleh beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan bahwa penelantaran tanah dapat mengakibatkan pada hapusnya kepemilikan ketentuan. Di dalam kasus-kasus penggusuran paksa, termasuk yang dialami oleh para Pemohon, pemerintah sebagai pelaku penggusuran paksa juga tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikannya yang sejalan dengan asas publisitas hukum agrarian. Tambahan lagi, para Pemohon menilai bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Perpu 51/1960 menerapkan sanksi pidana terhadap para Pemohon sebagai warga negara yang menjustifikasi kesewenang-wenangan pemerintah untuk merampas tanah warga tanpa perlu melalui proses pembuktian yang adil terlebih dahulu.
(Nano Tresna Arfana/lul)