Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada), Senin (28/11). Agenda sidang perkara Nomor 92/PUU-XIV/2016 adalah mendengarkan keterangan ahli Pemohon,
Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar sebagai ahli pemohon mengatakan pada dasarnya lembaga negara serupa dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga yang secara teoritik disebut sebagai lembaga negara independen. Lembaga negara independen, jelasnya, adalah kenyataan baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya mulai marak pasca reformasi 1999. “Lembaga negara independen telah menjadi cabang kekuasaan baru yang nyata dalam struktur pemerintahan negara Indonesia. Ini bukan hal yang aneh, di negara lain pun terjadi hal yang serupa,” kata Zainal kepada Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Zainal mengutip beberapa pendapat pakar hukum, di antaranya Brusakermen (2003) yang menjelaskan struktur cabang kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Amerika tidak lagi hanya 3 atau 4 cabang, tetapi malah 5 cabang. Hal yang sama, jelas Zainal, juga dikatakan oleh Pakar Hukum Akormen yang berfokus pada model pemisahan kekuasaan tiga prinsip yang selama ini telah memotivasi lahirnya kelahiran doktrin pemisahan kekuasaan, yakni meliputi demokrasi, profesionalisme, dan perlindungan hak-hak dasar warga negara.
Adapun lembaga negara independen menurut Milakovic dan Gordon memiliki perbedaan dengan lembaga pemerintahan biasa. Perbedaannya komisi ini memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial sehingga keputusannya harus diambil secara kolektif. Selain itu anggota atau para komisioner lembaga ini tidak melayani apa yang menjadi keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden lainnya.
Selanjutnya, mengutip pendapat Pakar Hukum Asimov, Zainal menjelaskan watak dari sebuah komisi tergantung pada mekanisme pengangkatan dan pemberhentiannya. Sementara, William Fox mengemukakan bahwa komisi negara bersifat independen apabila dinyatakan secara tegas di dalam undang-undangnya.
“Tetapi secara keseluruhan apa yang dikatakan Asimov, William Fox, dan lainnya menyepakati satu hal yakni bahwa lembaga negara independen bersifat self regulatory body. Self regulatory body artinya dia bersifat dapat mengatur dirinya sendiri sepanjang hal tersebut masih masuk dalam ranah kewenangannya,” ujar Zainal.
Selanjutnya, dikaitkan dengan Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 yang berbunyi, “Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a. menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat,” Zainal menganggap ketentuan tersebut berpotensi sangat kuat mengganggu dan melanggar kemandirian KPU.
“Setidaknya, gangguan tersebut bisa terjadi oleh dua hal. Hal pertama, karena ciri teori KPU sebagai lembaga negara independent yang bersifat self regulatory body, bersifat dapat mengatur dirinya sendiri sepanjang aturan berkaitan dengan kewenangannya. Jika kewenangan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara jelas memberikan kewenangan kepada KPU untuk menyelenggarakan pemilihan umum secara mandiri, maka menjadi kewajiban untuk menjabat kewenangan yang bersifat mengatur tersebut. Jika ada hal yang bermasalah dari aturan KPU, maka tidak perlu secara preview politik, tapi disediakan mekanisme judicial review untuk mengatakan bahwa penegakan hukum yang tak bermartabat dapat dilakukan melalui pengadilan hukum atau court of law,” papar Zainal.
Kedua, lanjutnya, gangguan memengaruhi independency kelembagaan itu sendiri. “Seperti yang disampaikan di atas, lembaga negara independen pada intinya adalah bebas dari pengaruh campur tangan kekuasaan mana pun. Ketentuan tersebut sangat berpeluang mengganggu independensi. Oleh karena KPU kemudian tidak bersifat mandiri dalam rangka menjalankan fungsi membuat aturan sebagaimana yang diperintahkan di dalam undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan tersebut lagi-lagi sangat potensial mengalihkan tugas dan fungsi KPU yang seharusnya dijalankan secara mandiri oleh KPU menjadi kewenangan yang dimiliki oleh DPR,” tegas Zainal.
Sebelumnya, seluruh Komisioner KPU memohonkan uji materiil ketentuan Pasal 9 huruf a UU Pilkada yang mengharuskan KPU berkonsultasi pada DPR dan pemerintah dalam membuat Peraturan KPU. Bagi Pemohon, pasal tersebut mengancam kemandirian KPU. Keterlibatan DPR dinilai begitu sentral dan menentukan kewenangan KPU dalam menyusun dan menetapkan Peraturan KPU. Menurut Pemohon, seharusnya lembaga penyelenggara pemilu tidak boleh tunduk pada arahan dari pihak lain, baik itu pihak berwenang maupun partai politik. (Ars/lul)