Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Sidang perkara No. 99/PUU-XIV/2016 digelar Selasa (15/11) di ruang sidang pleno MK. Dalam persidangan hadir langsung Hery Shietra selaku Pemohon.
Hery yang berprofesi sebagai konsultan hukum merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 6 UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan, “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi,“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.” dan Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
Hery mendalilkan saat ini pengusaha cenderung menggunakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu bagi para pekerjanya walaupun pekerja tersebut dipekerjakan bertahun-tahun untuk suatu pekerjaan yang seharusnya dapat menjadi pegawai tetap. Alasan pengusaha menggunakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu adalah untuk menghindari potensi risiko upah proses ketika dipersengketakan oleh pekerja.
“Saya baru mengetahui bahwa pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu tidak mendapat upah proses. Seluruh pengusaha mengetahui Yang Mulia bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat mengikat untuk pekerjaan tetap ataupun lebih dari 3 tahun. Seluruh pengusaha juga mengetahui perjanjian tidak tertulis berubah menjadi perjanjian tetap. Jadi apa yang dimaksud dengan demi hukum? Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menjadi objek sengketa tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan demi hukum,” kata Hery di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto.
“Pasal 6 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyebutkan tidak boleh ada diskriminasi, Yang Mulia. Kemudian Pasal 59 ayat 7 menyatakan bila terjadi pelanggaran terhadap norma-norma Undang-Undang Ketenagakerjaan mengenai perjanjian kerja, maka demi hukum berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu,” imbuh Hery.
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menasehati Pemohon agar menjelaskan argumentasi lebih detail terhadap pasal-pasal yang diujikan. “Yang penting adalah Anda bisa menjelaskan pasal ini keliru, setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha,” ujar Maria.
“Pasal-pasal ini yang harus Anda berikan argumentasi bahwa ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena pasal ini menimbulkan hal seperti ini. Tapi kalau kita bisa melihat bahwa kemudian ini penafsirannya dan sebagainya, maka Anda nanti masuk ke dalam kasus konkret. Nah, kasus konkret itu bukan kewenangan Mahkamah untuk melaksanakan pelaksanaan penjelasan perkara ini. Jadi mohon untuk supaya ini diperbaiki kembali dan pasal-pasal yang Anda mohonkan itu jelas itu menimbulkan kerugian bagi Anda kalau dilihat dari batu uji yang Anda ambil dari Undang-Undang Dasar 1945,” papar Maria.
Sementara Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyarankan Pemohon agar lebih menjabarkan uraian tentang kedudukan hukum. “Syarat kerugian itu ada sekian, kerugian itu tentu akan berbeda. Misalnya, kerugian hak konstitusional antara perseorangan warga negara pastilah akan berbeda dengan kerugian hak konstitusional badan hukum misalnya dalam hal tertentu. Misalnya hak atas kepastian hukum sama baik badan hukum maupun perorangan, saya kira itu. Nah, itu yang mesti dijelaskan dulu,” tegas Palguna.
(Nano Tresna Arfana/lul)