Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian aturan mengenai perjanjian perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Putusan dengan Nomor 69/PUU-XIII/2015 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Kamis (27/10) di Ruang Sidang MK. Melalui putusan tersebut, MK menyatakan perjanjian perkawinan dapat dilangsungkan sebelum dan selama masa perkawinan.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut’,” ucap Arief membacakan putusan dari permohonan perseorangan, yaitu Ike Farida.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Padahal dalam kenyataannya, ada fenomena suami istri yang karena alasan tertentu baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat Perjanjian Perkawinan selama dalam ikatan perkawinan. Selama ini, sesuai dengan Pasal 29 UU Perkawinan, perjanjian demikian harus diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akta notaris.
“Perjanjian perkawinan ini mulai berlaku antara suami dan istri sejak perkawinan dilangsungkan. Isi yang diatur di dalam perjanjian perkawinan tergantung pada kesepakatan pihak-pihak calon suami dan isteri, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Adapun terhadap bentuk dan isi perjanjian perkawinan, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya,” ujarnya.
Wahiduddin menjelaskan frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal 29 ayat (1), frasa “...sejak perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal 29 ayat (3), dan frasa “selama perkawinan berlangsung” dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan membatasi kebebasan 2 (dua) orang individu untuk melakukan atau kapan akan melakukan “perjanjian” sehingga bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon.
“Dengan demikian, frasa ‘pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan’ dalam Pasal 29 ayat (1) dan frasa ‘selama perkawinan berlangsung’ dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula selama dalam ikatan perkawinan,” tegasnya.
Dengan dinyatakannya Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, maka Mahkamah menegaskan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang juga dimohonkan Pemohon harus dipahami dalam kaitannya dengan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan dimaksud. “Dengan kata lain, tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas terhadap Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan,” terang Wahiduddin.
Bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian perkawinan terhadap harta bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, berlaku ketentuan tentang perjanjian perkawinan sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. Dengan demikian, dalil Pemohon sepanjang mengenai inkonstitusionalitas Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan tidak beralasan menurut hukum.
“Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU 1/1974 beralasan menurut hukum untuk sebagian, sedangkan menyangkut Pasal 35 ayat (1) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum,” tandasnya.
Sebelumnya, Pemohon merasa dirugikan oleh ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA dan Pasal 29 ayat (1), Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut.
Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Pemohon menilai bahwa Frasa “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan…” dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan justru mengekang dan membatasi hak kebebasan berkontrak karena seseorang pada akhirnya tidak dapat membuat perjanjian kawin jika tidak dilakukan “pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan”. Selanjutnya, Frasa “…harta bersama” pada Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang dimaknai sebagai “Hak Kepemilikan” yang lahir dengan serta merta secara otomatis pada saat pembayaran dilakukan, telah merampas dan menghilangkan hak Pemohon untuk memiliki Hak Milik dan Hak Guna Bangunan karena “harta” tersebut dimaknai separuhnya merupakan milik orang asing. (Lulu Anjarsari/lul)