Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), Selasa (25/10) di ruang sidang MK. Agenda sidang perkara teregistrasi Nomor 92/PUU-XIV/2016 tersebut adalah perbaikan permohonan.
Hadir dalam persidangan tiga Komisioner KPU, yakni Hadar Nafis Gumay, Sigit Pamungkas, dan Hasyim Asy’ari. Pada kesempatan tersebut, KPU menjelaskan tiga poin perbaikan dalam permohonan yang mempersoalkan kewajiban KPU untuk berkonsultasi dengan DPR dalam penyusunan Peraturan KPU.
Pertama, KPU menegaskan permohonan diajukan oleh seluruh komisioner KPU. "Kalau dalam permohonan kami sebelumnya itu adalah Ketua KPU mengusakan kepada Anggota KPU dan beberapa jajaran sekretariat. Untuk perbaikan ini, seluruh Anggota KPU tujuh orang bertindak sebagai Pemohon mengatasnamakan Komisi Pemilihan Umum,” ujar Sigit.
Kedua, KPU menambahkan beberapa argumen untuk memperkuat permohonannya. Menurut KPU, penyusunan Peraturan KPU yang mesti berkonsultasi ke DPR dan sifatnya mengikat adalah tidak tepat. Membandingkan dengan kementerian dan lembaga lain, tidak ada mekanisme demikian dalam penyusunan peraturan.
“Di lembaga atau kementerian lain yang oleh undang-undang, bahkan oleh konstitusi tidak disebutkan sifat kemandiriannya saja tidak melalui konsultasi dalam penyusunan peraturan. Ketika dihadapkan pada KPU, yang oleh konstitusi diamanatkan untuk menjalankan tugasnya dengan mandiri, tentu ini menjadi masalah tersendiri,” paparnya.
Terakhir, pada bagian petitum, Pemohon memecah petitum 2 yang menyatakan frasa “setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat” bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam permohonannya, KPU mempermasalahkan kewajiban konsultasi pada DPR dan pemerintah dalam penyusunan peraturan KPU yang termaktub dalam Pasal 9 huruf a UU Pilkada. Menurut KPU, pasal tersebut mengancam kemandirian KPU. Menurut Pemohon, seharusnya lembaga penyelenggara pemilu tidak boleh tunduk pada arahan dari pihak lain, baik itu pihak berwenang maupun partai politik. (ars/lul)