Sidang perkara uji materiil pasal zina, pasal pencabulan, dan pasal perkosaan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terus bergulir sampai sidang kesebelas, Senin (17/10). Dalam sidang tersebut, Komnas Perempuan selaku Pihak Terkait dalam perkara No. 46/PUU-XIV/2016 menghadirkan ahli dan saksi untuk menampik dalil Pemohon yang menyatakan pasal -pasal tersebut telah usang dan tidak lagi sesuai perkembangan zaman.
Mantan Komisioner Komnas HAM Lies Sulistijowati Soegondo hadir selaku ahli dari Komnas Perempuan. Dalam keterangannya, Lies menolak usulan para Pemohon untuk menghapus Pasal 284 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) yang mengandung ketentuan mengenai delik aduan untuk kasus perzinaan, pencabulan, dan pemerkosaan. Dengan dihapusnya delik aduan dimaksud, Lies khawatir akan terjadi pengurangan perlindungan negara atas ketertiban perkawinan warga negaranya.
Bahkan, lanjut Lies, negara dapat saja dituntut telah melanggar hak asasi warga negaranya. Sebabnya, perkawinan merupakan hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah seperti yang diamanatkan Pasal 28B ayat (1) juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Justru melalui delik aduan, terhadap masalah zina dalam perkawinan adalah upaya negara untuk tidak serta merta menghukum dalam bentuk pidana, tetapi semata-mata terlebih dahulu mempertahankan atau mengupayakan harmonisnya keluarga yang bersangkutan. Karena negara menyadari bahwa perkawinan adalah hak setiap individu, tanpa intervensi dari luar,” jelas Lies di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin langsung Ketua MK Arief Hidayat.
Meski demikian, Lies mengatakan kalau suami-istri sudah tidak sanggup lagi mempertahankan perkawinannya akibat adanya perbuatan zina yang dilakukan salah satu dari keduanya, maka mereka dapat mengajukan gugatan cerai. Oleh karena itu, Lies menyatakan cara berpikir para Pemohon yang ingin mengubah delik aduan menjadi delik biasa bagi pelaku yang terikat dalam perkawinan maupun yang tidak terikat perkawinan justru akan menimbulkan akibat yang sangat luas dalam masyarakat.
Dengan sanksi pidana yang dapat diberikan kepada siapa pun yang melakukan perzinaan, Lies juga khawatir anak-anak justru akan kehilangan hak asuh orang tuanya karena harus dipidana. “Selain daripada itu, beban pembuktian bagi istri-istri atau perempuan menjadi lebih berat dan pada umumnya sulit dibuktikan. Utamanya bagi perempuan korban kekerasan seksual akan mengalami kesulitan dalam tuntutan pembuktian sesuai KUHP dan KUHAP. Apalagi kalau pemahaman zina sebagaimana dimaksud oleh Pemohon mencakup pula di luar perkawinan, maka berapa ribu tenaga kerja wanita republik Indonesia di luar negeri akan terkena dampak kriminalisasi. Pada umumnya perempuan-perempuanlah yang terkena imbasnya,” tegas Lies.
Perkawinan Adat
Komnas Perempuan selaku Pihak Terkait juga menghadirkan saksi untuk menampik dalil para Pemohon, yaitu Dewi Kanti Setianingsih selaku wakil dari Komunitas Adat Karuhun Sunda Wiwitan. Dalam kesaksiannya, Dewi mengaku sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga tahun 1963, peristiwa perkawinan masyarakat di Komunitas Adat Karuhun Sunda Wiwitan dicatatkan oleh wedana di kantor kabupaten.
Namun pada 1964, perkawinan adat masyarakat yang tergabung dalam Komunitas Adat Karuhun Sunda Wiwitan tidak diakui lagi oleh negara. Padahal pada masa kolonial Belanda saja, perkawinan adat mereka diakui dengan dicatat dalam buku Pikukuh Igama Jawa Pasundan yang dikontrol oleh J.A.L Jacobs tahun 1925.
Pada kesempatan tersebut, Dewi juga mengungkapkan berbagai kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh warga Komunitas Adat Karuhun Sunda Wiwitan. Pemenjaraan pasangan yang dianggap melakukan perkawinan liar juga terjadi. Padahal, menurut Dewi, hal tersebut sah secara adat dan legal pada era sebelumnya.
“Sejatinya, hukum adat sudah ada sebelum negara kesatuan republik ini membentuk dan menyusun undang-undangnya sendiri, tetapi kenapa hukum adat tidak diakomodasi dalam hukum positif dan dilegalkan. Di dalam masyarakat kami, perzinaan tidak ada dalam istilah sunda wiwitan. Seks di luar perkawinan tidak ada di dalam komunitas kami. Adapun beberapa kasus yang terjadi di luar komunitas di antaranya kebanyakan ada beberapa generasi muda yang menjadi masyarakat urban di perkotaan dan mereka tidak mampu menghadapi tantangan zaman dan godaan, sehingga kalau ada kasus seperti itu, kami tetap menanyakan dan mengklarifikasi kepada mereka apakah mereka menyadari kesalahan yang sudah dilakukan,” tegas Dewi.
Mahkamah masih membuka kesempatan untuk Pihak Terkait menghadirkan ahli maupun saksi. Sidang lanjutan perkara yang dimohonkan oleh 12 orang Warga Negara Indonesia ini akan digelar 26 Oktober 2016, pukul 09.30 WIB. (Yusti Nurul Agustin/lul)