Perluasan pengecualian penggunaan barang bukti kayu hasil pembalakan liar dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) akan meningkatkan kasus pembalakan liar di hutan konservasi. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Hukum dan HAM Rasio Ridho Sani saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam sidang perkara pengujian UUP3H, Rabu (12/10) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Keterangan tersebut merupakan tanggapan Pemerintah atas gugatan yang diajukan tiga orang aktivis lingkungan, yaitu Imam B. Prasodjo, Andy F. Noya, dan Ully Sigar Rusady. Ketiganya meminta ketentuan yang mengatur pemusnahan barang bukti kayu hasil pembalakan liar dalam Pasal 44 ayat (1) UU P3H inkonstitusional. Para Pemohon meminta pengecualian penggunaan barang bukti kayu hasil pembalakan dapat diperluas untuk kegiatan sosial seperti pembangunan sekolah yang hancur akibat bencana alam.
Meski niat para Pemohon sepintas sangat mulia, namun Pemerintah khawatir perluasan tersebut justru menjadi bumerang untuk kegiatan konservasi hutan. Rasio menyampaikan bisa saja perluasan dimaksud dapat dimanfaatkan oleh orang yang bermodus untuk kepentingan sosial dan pendidikan. Akibatnya, lanjut Rasio, tujuan atau filosofi dibentuknya UU P3H yang bertujuan untuk menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian dan tidak merusak ekosistem sekitarnya tidak dapat dipenuhi.
“Berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi, tumbuhan hasil pembalakan liar yang dilindungi dirampas oleh negara untuk dikembalikan ke habitatnya atau apabila tidak dapat dipertahankan kualitasnya agar dimusnahkan. Pasal tersebut dimaksudkan dalam menjaga keawetan, keanekaragaman hayati, dan menjaga ekosistem, serta ciri khas tertentu dalam hutan konservasi tetap terjaga,” jelas Rasio di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Lebih lanjut, Rasio menuturkan niat baik para Pemohon sebetulnya sudah terakomodasi oleh Pasal 44 ayat (2) UU P3H. Pasal tersebut menyatakan barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan konservasi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial. Oleh karena itu, Pemerintah meminta Mahkamah untuk menolak atau menyatakan tidak dapat menerima permohonan para Pemohon agar fungsi hutan konservasi dapat terjaga.
Kedudukan Hukum
Pada kesempatan yang sama, Rasio juga mengutarakan Pemerintah menilai ketiga aktivis yang menjadi pemohon perkara No. 69/PUU-XIV/2016 tersebut tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan.
Pemerintah yakin para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya pasal a quo. Dalam pandangan Pemerintah, para Pemohon tidak jelas menguraikan kerugian konstitusionalnya yang seharusnya bersifat spesifik.
“Menurut Pemerintah, Para Pemohon hanya menjelaskan keaktifannya dalam bidang sosial dan lingkungan. Namun, tidak jelas dalam menguraikan kerugiannya dan kaitan kerugian konstitusionalnya dengan ketentuan a quo UU P3H yang diuji. Dengan demikian, kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon dalam perkara a quo tidaklah bersifat spesifik, dan tidak dapat dipastikan akan terjadi, dan tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji,” tegas Rasio kemudian menyatakan para Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki legal standing seperti tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.
Lembaga P3H
Usai mendengarkan keterangan Pemerintah, para Hakim Konstitusi mengajukan berbagai pertanyaan. Salah satu pertanyaan dilontarkan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang menanyakan keberadaan lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Menurut Wahiduddin, lembaga tersebut diamanatkan oleh UU P3H dengan salah satu fungsinya memberi izin penggunaan barang bukti kayu temuan hasil operasi pemberantasan perusakan hutan.
“Apakah lembaga ini sudah ada? Karena menurut undang-undang ini kan dua tahun kalau tidak salah, harus terbentuk. Apakah lembaga yang tadi diperintahkan oleh undang-undang yang harus diatur dan peraturan Presiden sudah ada? Karena tadi belum disinggung,” tanya Wahiduddin.
Menjawab pertanyaan tersebut, Rasio mengungkapkan bahwa lembaga dimaksud belum terbentuk sampai saat ini. Padahal, UU P3H sudah diundangkan sejak tahun 2013 lalu.
Pada sidang kali ini, seharusnya DPR juga menyampaikan keterangan. Namun, melalui surat yang dilayangkan Kepala Badan Keahlian DPR Jhonson Rajagukguk, DPR berhalangan hadir karena bertepatan dengan rapat-rapat fraksi. (Yusti Nurul Agustin/lul)