Sebanyak 20 orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (11/10). Fajar Laksono selaku peneliti MK yang menerima kunjungan tersebut, diberondong berbagai pertanyaan kritis seputar MK dan kewenangannya.
Salah seorang mahasiswa, Lilis, mengaku tergelitik untuk mendalami persoalan impeachment sejak awal masuk ke fakultas hukum, terlebih setelah mendengar penjelasan Fajar seputar tugas dan kewenangan MK.
Seperti diketahui, selain memiliki 4 kewenangan, Mahkamah juga memiliki satu kewajiban. Satu kewajiban dimaksud yakni memberikan putusan atas pendapat DPR terkait dugaan pelanggaran berat yang dilakukan presiden dan atau wakil presiden.
Terkait kewenangan tersebut, Lilis menanyakan mekanisme pemeriksaannya. Sepengetahuan Lilis, usai Mahkamah menyidangkan dugaan dari DPR, MK akan mengembalikan keputusan akhirnya ke MPR. Menurut Lilis mekanisme tersebut menyalahi sifat putusan MK yang final dan mengikat.
“Soal impeachment, ketika ada pelanggaran maka DPR akan membentuk panitia khusus untuk menyelidiki kasus tersebut. Lalu MK akan mengeluarkan putusan yang dikembalikan ke MPR. Kalau seperti ini, muruah MK jadi turun. Padahal sifat putusan MK final dan mengikat, kenapa harus dikembalikan ke MPR?” tanya Lilis kritis.
Menjawab pertanyaan Lilis, Fajar menjelaskan bahwa secara teoritis memang hal tersebut masih menjadi perdebatan. Meski secara teori masih belum ideal, namun Fajar menegaskan bahwa mekanisme yang demikian merupakan hasil kesepakatan bersama.
“Secara teori memang tidak ideal, tapi itulah rancang bangun yang kita sepakati. Apakah ini secara pidana misalnya harus diselesaikan dulu di peradilan pidana atau langsung dibawa ke MK? Itu semua masih debatable secara teori,” ujar Fajar.
Selain itu, Fajar juga menjelaskan bahwa sebagai peradilan tatanegara, bisa saja MK hanya berwenang “menurunkan” presiden dan atau wakil presiden yang terbukti melakukan pelanggaran berat. Artinya, persoalan pidana yang membelit dalam kasus impeachment diserahkan kembali ke masing-masing lembaga yang berwenang.
Penanganan Perkara Pilkada
Pada kesempatan yang sama, Rio Bagaswara dan Hari mengajukan pertanyaan kritis lainnya. Masih terkait kewenangan MK, baik Rio maupun Hari mengajukan pertanyaan terkait kewenangan MK memutus sengketa pilkada.
Hari menanyakan terkait kewenangan MK menangani perkara pilkada yang hanya sementara saja. Menurut Hari, MK sudah tepat sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa pilkada. “Kenapa MK hanya sementara mengadili perkara pilkada? Menurut saya, sudah tepat karena MK merupakan pengawal konstitusi sedangkan pilkada merupakan penggerak demokrasi. Lalu kenapa perlu lembaga peradilan khusus lainnya?” tanya Hari. Sementara Rio menanyakan konsekuensi dari tidak dilaksanakannya putusan MK.
Menjawab pertanyaan tersebut, Fajar menjelaskan sebenarnya Hakim Konstitusi sendiri sempat mengalami perbedaan pendapat mengenai pilkada. Sebagian hakim MK pernah mengeluarkan dissenting opinion pada suatu putusan perkara terkait pilkada. Sebagian hakim, jelas Fajar, mengatakan pilkada masuk rezim pemilu sehingga MK berwenang menanganinya, sementara sebagian besar hakim lainnya, menyatakan pilkada masuk ke dalam rezim pemerintahan daerah sehingga MK tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara dimaksud.
“Sampai akhirnya ada putusan No. 97 itu ( 97/PUU-XI/2013, red), MK dengan tegas mengatakan pilkada bukan rezim pemilu. Oleh karena itu, inkonstitusional kalau menyerahkan perkara pilkada ke MK. Hal itu selesai secara hukum. Tapi secara ilmu hukum, silakan dikaji lagi,” papar Fajar yang pada kesempatan tersebut didampingi Benito Asdhie selaku dosen pembimbing.
Terkait sanksi hukum akibat tidak mengikuti putusan MK, Fajar mengatakan sanksi hukum untuk itu tidak ada. Dalam putusan perkara pilkada, Fajar membenarkan ada beberapa wilayah yang tidak mengikuti putusan MK. Namun, MK tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi. Meski demikian, Fajar yakin bahwa sanksi secara politis akan dirasakan oleh pasangan calon maupun penyelenggara pilkada yang tidak mematuhi putusan MK.
Usai mendengarkan penjelasan Fajar dan melakukan tanya-jawab, para mahasiswa langsung mengunjungi Pusat Sejarah Konstitusi di Lantai 5 dan 6 Gedung MK. Benito berharap dengan kunjungan kali ini, para mahasiswa dapat termotivasi untuk menambah ilmu. (Yusti Nurul Agustin/lul)