Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Kontruksi) diuji materiil Mahkamah Konstitusi (MK) oleh seorang kontraktor Rama Ade Prasetya. Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan Nomor 86/PUU-XIV/2016 tersebut digelar pada Selasa (11/10).
Dalam permohonannya, Pemohon yang diwakili ayahnya, Edy Suparno, mendalilkan hak konstitusional Pemohon terlanggar dengan ketentuan Pasal 25 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 43 UU Jasa Konstruksi yang mengatur pengguna dan penyedia jasa konstruksi wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan. Pemohon merupakan direktur utama perusahaan bidang jasa konstruksi yang berstatus tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi dan diperiksa oleh Kepolisian Republik Indonesia Daerah Jawa Tengah Resor Tegal. Pemohon dilaporkan oleh Kepala Perwakilan BPK Provinsi Jawa Tengah berdasarkan Laporan Hasil Audit dalam rangka perhitungan keuangan negara atas runtuhnya atap bangunan gedung Puskesmas Tegal Barat, Kota Tegal yang pembangunannya dilakukan perusahaan yang dipimpin Pemohon pada 6 Februari 2016 lalu.
Menurut Pemohon, Penyidik sama sekali tidak menggunakan dasar hukum Pasal 25 ayat (3) UU Jasa Konstruksi yang menyatakan untuk menilai kegagalan suatu bangunan ataupun bagian dari bangunan, harus lah melalui penilaian pihak ketiga selaku penilai ahli. Menurut dalil Pemohon, Pemohon dijerat dengan ketentuan Pasal 25 UU Jasa Konstruksi, akan tetapi pemidanaannya menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), sehingga hal tersebut mengakibatkan Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum.
“Hukuman yang diterima Pemohon adalah dengan menggunakan UU Tipikor, bukan dengan UU Jasa Konstruksi sebagai dasar hukum pengenaan sanksi pidana terhadap Pemohon. Hal tersebut tidak sejalan dengan asas negara hukum sehingga bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna tersebut.
Untuk itu, dalam petitum-nya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal yang diujikan inkonstitusional serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Suhartoyo memberikan saran perbaikan. Suhartoyo mengingatkan bahwa MK memiliki kewenangan menguji konstitusionalitas norma. Sementara dalam dalil Pemohon, UU Jasa Konstruksi sebenarnya tidak masalah karena pemohon mempermasalahkan penyidik yang menggunakan UU Tipikor, bukan UU Jasa Konstruksi. Hal senada diungkapkan Palguna, ia mengingatkan bahwa seandainya perkara dikabulkan MK, maka putusan tersebut tidak akan mengubah hukuman Pemohon. “Putusan MK tidak berlaku surut. Maka jikapun benar, tidak akan berpengaruh pada pemohon. Lagipula UU Jasa Konstruksi menurut Pemohon tidak bermasalah,” tandasnya.
Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permhonan. Sidang berikutnya digelar dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/lul)