Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU) mengajukan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), Selasa (11/10). Permohonan yang ditandatangani Ketua KPU Juri Ardiantoro tersebut diregistrasi dengan Nomor 92/PUU-XIV/2016. Pada permohonannya, KPU mempersoalkan kewajiban KPU untuk berkonsultasi pada DPR dan pemerintah dalam hal penyusunan Peraturan KPU.
Diwakili komisioner KPU Ida Budhiati, Pemohon menyatakan norma Pasal 9 huruf a UU Pilkada, khususnya sepanjang frasa “...dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat” secara potensial meruntuhkan kemandirian lembaga penyelenggara pemilu, sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Ini bertentangan dengan agenda reformasi terbentuknya lembaga penyelenggara pemilu yang mandiri,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Dengan adanya forum konsultasi KPU dengan DPR dan pemerintah yang bersifat mengikat dalam menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis, menurut Pemohon, akan membuka ruang pengaturan yang memihak dan tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Keberpihakan tersebut, dikhawatirkan akan mengakibatkan ketidakpercayaan publik serta menjadikan proses dan hasil tidak akan berjalan fair. “Forum konsultasi pada para pihak ini berpotensi adanya conflict of interest,” tegasnya.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 9 huruf a UU Pilkada sepanjang frasa “...dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Aswanto sebagai anggota Majelis Hakim menyebut legal standing Pemohon perlu diperjelas. Sebab, permohonan diajukan atas nama Ketua KPU, namun saat merujuk pada surat kuasa khusus, pemberi kuasa memberikan kuasa kepada Komisioner KPU lain untuk mengajukan permohonan.
“Isinya kan mewakili dan bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa dalam kedudukannya sebagai Pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian judicial review. Sementara faktanya, yang mengajukan tetap bukan kuasa yang mengajukan ini. Karena permohonannya tetap ditandatangani oleh pemberi kuasa,” jelasnya.
Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. MK akan menunggu penyerahan perbaikan permohonan sampai 24 Oktober 2016, pukul 10.00 WIB.
(ars/lul)