Anggota DPR Papua Barat (DPRPB) periode 2014-2019 Yan Anton Yoteni memperbaiki permohonan pengujian materiil atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Sidang beragendakan perbaikan perkara dengan Nomor 75/PUU-XIV/2016 digelar Senin (10/10) di Ruang Sidang MK.
Yoteni yang diwakili oleh Daniel Tonapa Masiku memperbaiki permohonan sesuai dengan saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon yang semula hanya seorang diri, mengajak sembilan orang anggota DPRPB Fraksi Otonomi Khusus lainnya mendaftar sebagai pemohon tambahan.
“Kalau dulu yang menjadi Prinsipal Pak Yan Anton Yoteni sendiri dan atas nama ketua fraksi, maka pada perbaikan kami Pemohonnya itu juga termasuk anggota fraksi otonomi khusus, kuasanya secara kolektif ditandatangani oleh sembilan orang,” tutur Masiku dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar tersebut.
Selain itu, Pemohon juga mengubah petitum-nya dengan menambahkan putusan sela. Putusan itu meminta agar MK memerintahkan kepada KPU untuk memberikan kesempatan kepada fraksi otonomi khusus untuk mengajukan dan mendaftarkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur periode tahun 2017 sampai 2022
Pada sidang perdana, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU Pilkada yang mengatur tentang pengajuan calon dari partai politik ataupun gabungan. Pemohon merupakan Ketua Fraksi Otonomi Khusus DPRPB yang dipilih oleh Masyarakat Adat Orang Asli Papua dan berniat mengajukan diri dalam Pilkada Serentak 2017.
Frasa “Partai Politik atau gabungan Partai Politik” pada pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU 10/2016 tanpa mencantumkan frasa “Fraksi Otonomi Khusus atau sebutan lain terhadap anggota DPRP/DPRPB yang dipilih melalui mekanisme pengangkatan” merupakan tindakan diskriminatif dan menegasikan hak-hak dan peran politik Pemohon yang keberadaannya mewakili masyarakat hukum adat dan Orang Asli Papua yang dijamin oleh konstitusi. Hal tersebut karena dalam pasal a quo, partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan “jumlah kursi” adalah perolehan kursi yang dihitung dari jumlah kursi partai politik/gabungan partai politik saja.
Menurut Pemohon, frasa “dikecualikan bagi kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat yang diangkat” pada Pasal 40 ayat (5) UU Pilkada memiliki akibat hukum Anggota DPRPB yang dipilih melalui mekanisme pengangkatan tidak memiliki hak untuk mengusulkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat Tahun 2017. Padahal, lanjutnya, Pemohon telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRP dan DPRPB.
Lebih lanjut, Pemohon menuturkan dalam ketentuan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 (UU Otsus Papua), tidak ada pembedaan mengenai hak dan kewenangan Anggota DPR Papua/Papua Barat baik anggota DPRP/PB yang dipilih melalui partai poltik maupun anggota DPRP/PB yang dipilih oleh Masyarakat Hukum Adat Orang Asli Papua melalui mekanisme pengangkatan. (Lulu Anjarsari/lul)