Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Selasa (4/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi Nomor 81/PUU-XIV/2016 ini diajukan oleh Nico Indra Sakti.
Tanpa didampingi kuasa hukum, Nico menyampaikan pokok-pokok permohonannya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan Sitompul. Nico menggugat ketentuan dalam Pasal 2 huruf e UU PTUN yang menyatakan:
“Tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara menurut undang-undang ini.
a. ...
e. keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan bahwa Pejabat Peradilan Umum mengesampingkan pemberlakuan pasal a quo dalam kasus sengketa tanah. Akibatnya, Pemohon dan keluarganya tidak dapat menguasai tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Gunawarman No 41, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Putusan tersebut dikeluarkan oleh PN Jakarta Selatan dengan No. 155/Pdt/G/1992/PN.Jak.Sel terhitung sejak tanggal 15 November 1995.
Setelah itu, masih dalam permohonannya, Pemohon mengaku dirugikan dengan adanya tiga keputusan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Ketua PN Jakarta Selatan terkait sengketa tanah milik Pemohon. Keputusan-keputusan tersebut, yaitu keputusan terhadap permohonan rehabiltasi hak atas pelaksanaan eksekusi tingkat pertama, Keputusan Penolakan pelaksanaan eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan keputusan penolakan permohonan pelaksanaan rehabilitasi hak orang tua Pemohon dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Terbitnya tiga keputusan dimaksud, menurut Nico, seperti yang ia sampaikan dalam persidangan, diakibatkan oknum ketua PN Jaksel salah mengartikan frasa “atas dasar” dalam Pasal 2 huruf e UU PTUN.
“Frasa atas dasar diartikan hanya sebatas adanya suatu putusan pengadilan, bukan sesuai dengan hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menguji bahwa keputusan oknum KPN Jakarta Selatan adalah ilegal, Pemohon harus kembali dihadapkan lagi dengan kekeliruan penafsiran frasa atas dasar ayat a quo oleh Badan Pengawas Peradilan baik internal dan eksternal bahkan oleh peradilan tata usaha negara, sehingga Pemohon tidak dapat menyelesaikan secara administratif maupun secara hukum tindakan inkonstitusional oknum KPN Jakarta Selatan,” jelas Nico yang yakin hak konstitusionalnya untuk menerapkan prinsip negara hukum sudah dilanggar oleh ketentuan a quo.
Oleh karena itu, dalam petitum permohonannya, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 2 huruf e UU PTUN konstitusional bersyarat sepanjang frasa “atas dasar” dimaknai “sesuai dengan hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.
Saran Hakim
Sesuai ketentuan Pasal 39 UU MK, Majelis Panel diwajibkan memberi saran dalam sidang pendahuluan. Meski demikian, Pemohon dibebaskan dari kewajiban untuk mengikuti saran yang diberikan.
Salah satu saran disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Maria menyarankan agar Pemohon memperbaiki sistematika permohonan. Sebab, Maria melihat permohonan Pemohon masih seperti penjabaran kasus konkret semata.
“Kasus konkret itu boleh dipakai sebagai alasan pengujian undang-undang, tapi Anda harus melihat apakah betul kata atas dasar itu kalau Anda uji dengan batu uji yang Anda pilih tadi itu memang betul-betul menimbulkan multitafsir? Itu harus Anda jelaskan,” saran Maria.
Hal serupa juga disampaikan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang merasa persoalan yang disampaikan Pemohon lebih cenderung sebagai persoalan implementasi norma. “Karena arah uraiannya itu lebih banyak pada persoalan implementasi meskipun ujung-ujungnya adalah ingin ada hubungan dengan norma yang Saudara minta dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap itu. Jangan sampai dijelaskan ini menyangkut persoalan perdata, tentu Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk itu,” tegas Patrialis.
Sebelum menutup sidang, Manahan menyampaikan bahwa Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan dimaksud harus diserahkan ke kepaniteraan MK paling lambat 17 Oktober 2016, pukul 10 WIB. (Yusti Nurul Agustin/lul)