Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB) Periode 2014-2019 Yan Anton Yoteni mengajukan uji materiil atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang perdana perkara dengan Nomor 75/PUU-XIV/2016 tersebut digelar pada Selasa (27/9) di Ruang Sidang MK.
Yoteni, diwakili Daniel Tonapa Masiku, merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU Pilkada yang mengatur tentang pengajuan calon dari partai politik ataupun gabungan. Pemohon merupakan Ketua Fraksi Otonomi Khusus DPRPB yang dipilih oleh Masyarakat Adat Orang Asli Papua dan berniat mengajukan diri dalam Pilkada Papua Barat 2017.
“Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU 10/2016 mengandung diskriminasi dan tidak diperlakukan secara adil dan sama didepan hukum dalam kedudukannya antara anggota DPRPB yang berasal dari partai politik hasil pemilihan umum dengan anggota DPRPB yang dipilih oleh Masyarakat Adat Orang Asli Papua dan ditetapkan melalui mekanisme pengangkatan dalam hal pengusulan pasangan calon (gubernur dan wakil gubernur, red),” papar Masiku di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar tersebut.
Menurut Pemohon, frasa “Partai Politik atau gabungan Partai Politik” pada pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU 10/2016 tanpa mencantumkan frasa “Fraksi Otonomi Khusus atau sebutan lain terhadap anggota DPRP/DPRPB yang dipilih melalui mekanisme pengangkatan” merupakan tindakan diskriminatif dan menegasikan hak-hak dan peran politik Pemohon yang keberadaannya mewakili Masyarakat Hukum Adat dan Orang Asli Papua yang dijamin oleh konstitusi. Sebab, makna “jumlah kursi” dalam ketentuan a quo adalah perolehan kursi yang dihitung dari jumlah kursi partai politik/gabungan partai politik saja.
“Frasa partai politik atau gabungan partai politik haruslah ditambahkan atau setidaknya-tidaknya diartikan sebagai partai politik atau gabungan partai dan fraksi otonomi khusus atau sebutan lain di DPRP/PB,” tambahnya.
Lebih lanjut, Pemohon menilai frasa “dikecualikan bagi kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat yang diangkat” pada Pasal 40 ayat (5) UU Pilkada mengakibatkan anggota DPRPB yang dipilih melalui mekanisme pengangkatan tidak memiliki hak untuk mengusulkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pilkada Papua Barat 2017. Padahal, lanjutnya, Pemohon telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRP dan DPRPB.
Pemohon pun menuturkan ketentuan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 (UU Otsus Papua) tidak membedakan hak dan kewenangan Anggota DPRP/DPRPB, baik anggota yang dipilih melalui partai poltik maupun yang dipilih oleh Masyarakat Hukum Adat Orang Asli Papua melalui mekanisme pengangkatan. Oleh karena itu, Pemohon meminta agar menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU Pilkada bertentangan dengan konstitusi.
Nasihat Hakim
Majelis Hakim yang juga beranggotakan Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams dan Manahan Sitompul tersebut memberikan saran perbaikan terhadap permohonan Pemohon. Wahid mempersoalkan kedudukan hukum Pemohon. Sementara, dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan kerugiannya sebagai salah satu anggota DPRPB. Menurutnya, kedudukan Pemohon tidak tepat karena bertindak mewakili fraksi di DPRPB.
“Apakah Pemohon telah mendapat mandat dari seluruh anggota fraksi bahwa Pemohon dapat bertindak mewakili suara seluruh anggota fraksi? Pemohon harus dapat membuktikan mandat tersebut entah melalui peraturan tata tertib DPRPB atau ada perjanjian kesepakatan bahwa Pemohon dapat mewakili fraksi yang Pemohon pimpin dalam berperkara di MK,” terangnya.
Patrialis pun menambahkan jika batu ujinya Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, maka pemohon seharusnya tidak sendirian. Menurutnya, akan lebih baik pemohon bersama dengan anggota lainnya mengajukan bersama.
“Jika Saudara kan mengatakan secara kolektif ini batu ujinya, tetap itu ya. Nah, makanya tadi dua hakim Yang Mulia menjelaskan kalau memang itu secara kolektif dan apalagi arahnya ini adalah untuk memperjuangkan ya fraksi otonomi khusus,” tandasnya.
Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk melakukan perbaikan permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan sidang pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/lul)