Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak atau tax amnesty) justru memberikan keuntungan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hal tersebut disampaikan pada sidang ketiga untuk empat perkara pengujian UU Pengampunan Pajak yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (20/9) di Ruang Sidang MK. Empat perkara tersebut teregistrasi Nomor 57/PUU-XIV/2016, 58/PUU-XIV/2016, 59/PUU-XIV/2016 dan 63/PUU-XIV/2016.
“Undang-Undang Pengampunan Pajak nyata-nyata tidak merugikan masyarakat miskin, namun justru memberikan keuntungan kepada masyarakat secara luas. Setidaknya ada 3 manfaat pengampunan pajak yang akan menguntungkan perekonomian nasional,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Keuntungan pengampunan pajak, lanjut Sri Mulyani, yakni adanya dana repatriasi yang dapat menggerakkan perekonomian nasional. Kemudian, uang tebusan tax amnesty dapat digunakan secara langsung bagi pembangunan. Selain itu, ia menjelaskan terjaminnya penerimaan pajak secara berkelanjutan karena kebijakan pengampunan pajak akan menciptakan subjek dan objek pajak baru.
Sri Mulyani mengungkapkan, meningkatnya pertumbuhan di berbagai sektor perekonomian akan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Selain itu, tingkat suku bunga dapat dikurangi yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pergerakan ekonomi dan daya beli masyarakat. “Oleh karena itu, Undang-Undang Pengampunan Pajak semata-mata bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia jelas-jelas tidak mengakibatkan kerugian konstitusional bagi siapa pun,” paparnya.
Tidak Berpihak
Menanggapi dalil pemohon mengenai pendapat sebagian masyarakat yang menyatakan kebijakan pengampunan pajak adalah kebijakan yang tidak mencerminkan rasa keadilan, terutama bagi wajib pajak yang selama ini telah menjalankan kewajiban perpajakan dengan baik, Sri Mulyani membantah hal tersebut. Ia menjelaskan kebijakan pengampunan pajak sama sekali bukan diusulkan demi untuk memberi pengampunan bagi para pengemplang pajak.
Kebijakan pengampunan pajak, menurutnya, lebih merupakan sarana kebijakan agar wajib pajak dapat menarik dana atau hartanya yang selama ini ditempatkan di luar negeri. Kemudian, dapat ditempatkan di dalam negeri untuk menggerakkan perokonomian nasional dan agar wajib pajak dapat menyampaikan secara jujur harta maupun pendapatannya.
“Justru dengan kebijakan ini, Pemerintah akan mampu membangun suatu basis data baru terutama data dari lapisan masyarakat yang terkaya untuk memulai kepatuhan dan pemenuhan kewajiban perpajakannya secara konsisten pada masa-masa yang akan datang. Manfaat kepatuhan ini akan sangat besar bagi perekonomian Indonesia dan dalam rangka mewujudkan dan terbangunnya rasa percaya antara rakyat dengan negaranya,” tegasnya.
Terobosan Kebijakan
Sementara itu, DPR menjelaskan UU Pengampunan Pajak merupakan salah satu terobosan kebijakan untuk mendongkrak tingkat kepatuhan wajib pajak dan meningkatkan penerimaan pajak. Anggota DPR Komisi XI yang membidangi Keuangan, Perencanaan Pembangunan, Perbankan Melchias Marcus Mekeng mengungkapkan pengampunan pajak perlu dipertimbangkan secara khusus oleh Pemerintah Indonesia untuk memberikan kesempatan terakhir (one shot opportunity) bagi wajib pajak yang melakukan onshore maupun offshore tax evasion dengan tujuan utama sebagai wahana rekonsililasi perpajakan nasional bagi seluruh potensi masyarakat pembayar pajak. Kebijakan tersebut diharapkan akan meningkatkan penerimaan pajak.
“Untuk itu, perlu diterapkan langkah khusus dan terobosan kebijakan untuk mendorong pengalihan harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekaligus memberikan jaminan keamanan bagi warga negara Indonesia yang ingin mengalihkan dan mengungkapkan harta yang dimilikinya dalam bentuk pengampunan pajak. Kebijakan pengampunan pajak dilakukan dalam bentuk pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika wajib pajak diwajibkan untuk membayar uang tebusan atas pengampunan pajak yang diperolehnya,” tuturnya.
Para Pemohon yang mengajukan permohonan terkait uji materiil UU Pengampunan Pajak, di antaranya Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (Perkara 57/PUU-XIV/2016), Yayasan Satu Keadilan (perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016), Leni Indrawati dkk (Perkara nomor 59/PUU-XIV/2016) serta Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) (Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016).
Para pemohon menilai ketentuan dalam UU Pengampunan Pajak telah melukai rasa keadilan dalam masyarakat karena bersifat diskriminatif dengan membedakan kedudukan warga negara sebagai warga negara pembayar pajak dan warga negara tidak membayar pajak. Selain itu, ketentuan tersebut juga dinilai memberikan hak khusus secara eksklusif kepada pihak yang tidak taat pajak, berupa pembebasan sanksi administrasi, proses pemeriksaan, dan sanksi pidana.
Tak hanya itu, Pemohon juga menilai pengampunan untuk konteks perpajakan tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi. Seharusnya lembaga pajak bersifat memaksa, namun dengan adanya ketentuan a quo sifat lembaga pajak berubah menjadi lentur bahkan menjadi negotiable. Hal tersebut dinilaiPemohon merupakan ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif yang nyata terhadap “para pengemplang pajak” dari kewajibannya membayar pajak. Alih-alih diberi sanksi, justru “para pengemplang pajak” tersebut diampuni dan hanya membayar denda yang jumlahnya sama dengan warga lain. (Lulu Anjarsari/lul)