Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian). Sidang pengucapan putusan perkara teregistrasi No. 67/PUU-XIII/2015 tersebut digelar Rabu (7/9) di ruang sidang pleno MK.
“Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Sebelumnya, Sri Royani, seorang ibu rumah tangga menguji ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf g, Pasal 120 ayat (1), Pasal 229 ayat (1) KUHAP dan Pasal 16 ayat (1) huruf g UU Kepolisian. Dalam permohonannya, Pemohon keberatan dengan aturan pemanggilan ahli dan penggantian biaya bagi ahli yang dihadirkan penyidik dalam persidangan.
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah menilai permohonan tidak beralasan menurut hukum. Wakil Ketua MK Anwar Usman, membacakan pertimbangan hukum, berpendapat mendatangkan ahli merupakan kewenangan penyidik dalam rangka mencari dan melengkapi bukti sehingga membuat terang tindak pidana. Oleh karena itu, pembatasan penyidik untuk mendatangkan ahli jika belum menemukan minimal 2 alat bukti yang sah sebagaimana diminta Pemohon justru dapat mendorong terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
“Pada umumnya semakin banyak alat bukti yang ditemukan maka semakin terang tindak pidana yang terjadi dan meminimalisasi orang yang tidak bersalah dipidana, sehingga dapat mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia,” tegas Anwar.
Adapun terhadap keberatan Pemohon dengan aturan penggantian biaya bagi ahli yang memberikan keterangan, Mahkamah pun memandang hal tersebut tidak berasalan menurut hukum. Menurut Mahkamah, apabila seseorang telah memberikan keahliannya, sudah selayaknya dia mendapatkan penghargaan sewajarnya yang dibebankan kepada pihak yang menghadirkan.
“Dalam praktik bahkan tidak sedikit ahli yang secara sukarela memberikan keterangan sesuai keahliannya tanpa mendapatkan imbalan(pro bono). Meskipun belum ada pengaturan mengenai standardisasi penggantian biaya untuk menghadirkan ahli oleh para pihak yang berperkara, tetapi hal tersebut tak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan norma yang menentukan hak bagi ahli mendapatkan penghargaan yang sewajarnya atas keterangannya bertentangan dengan UUD 1945,” katanya menegaskan.
Lebih lanjut, mengenai permohonan Pemohon agar frasa “penggantian biaya” dalam Pasal 229 ayat (1) KUHAP dimaknai biaya akomodasi dan biaya transportasi, menurut Mahkamah justru akan merugikan ahli yang dipanggil. Misalnya, apabila untuk kepentingan keterangan di persidangan ahli harus melakukan penelitian atau setidak-tidaknya pendalaman khusus yang memerlukan biaya, sudah sewajarnya biaya tersebut diganti oleh pihak yang memanggilnya.
Sebelumnya, Pemohon mempersoalkan frasa “mendatangkan orang ahli” dalam Pasal 16 ayat (1) UU Kepolisian dan Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP dan frasa “Dalam hal penyidik menganggap perlu” dalam Pasal 120 ayat (1) KUHAP tidak disertai parameter yang jelas. Menurutnya, ketentuan tersebut tidak mencantumkan tolok ukur yang jelas terkait kapan dan dalam kondisi apa penyidik menganggap perlu untuk memanggil seorang ahli. Ketentuan tersebut juga tidak menjelaskan siapa yang dikategorikan sebagai ahli. Oleh karena itu, Pemohon menilai ketentuan a quo menimbulkan ketidakpastian hukum dan kesewenang-wenangan penyidik.
Selain itu, Pemohon mendalilkan frasa “penggantian biaya” dalam Pasal 229 ayat (1) KUHAP tidak diatur lebih konkret dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penerapannya, penggantian biaya dibebankan kepada pihak yang berperkara karenanya menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Oleh karena itu Pemohon meminta agar frasa tersebut dimaknai biaya akomodasi dan biaya transportasi.
(ars/lul)