Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA), Senin (29/8) di ruang sidang MK. Agenda perkara teregistrasi Nomor 53/PUU-XIV/2016 tersebut adalah mendengar keterangan ahli pemohon dan pihak terkait.
Pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin sebagai ahli yang dihadirkan pemohon menyebut titik tekan pengisian jabatan hakim agung adalah tetap diisi oleh hakim karier. Irman merujuk pada Pasal 6B UU No 3 Tahun 2009 Tentang MA yang menyatakan,
(1) calon hakim agung berasal dari hakim karier.
(2) selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari non-karier.
Penyebutan awal hakim karier pada pasal tersebut, menurut Irman, mengindikasikan keutamaan hakim karier dibandingkan dengan hakim nonkarier. Adapun hakim nonkarier, jelasnya, bersifat melengkapi dengan titik tekan pada memiliki keahlian khusus di bidang hukum yang tidak dimiliki hakim karier.
Lebih lanjut, Irman menyebut persyaratan untuk menjadi hakim agung, baik melalui jalur karier maupun nonkarier, harus disamakan. “Ini guna memberikan perlakuan yang sama terhadap calon hakim dari kalangan nonkarier, usia dan keahlian yang matang. Syarat minimal usia calon hakim karier mutatis mutandis berlaku bagi kalangan calon hakim nonkarier,” jelasnya.
Adapun terkait usia pensiun hakim konstitusi dan hakim agung serta masa jabatan ketua MK dan ketua MA, menurut Irman, juga mesti disamakan. Sebab, keduanya tergolong sebagai lembaga penyelenggara peradilan. “Ini berdasar putusan MK No.34/PUU-X/2012,” tegasnya.
Dibutuhkan
Sementara, Hakim Agung I Gusti Agung Sumantha mewakili MA sebagai pihak terkait menjelaskan salah satu langkah penting yang diambil MA dalam rangka meningkatkan konsistensi putusan dan peningkatan profesionalisme adalah pengelompokan para hakim agung dan hakim ad hoc ke dalam kamar-kamar yang terkait berdasarkan minat dan latar belakang pendidikannya.
“Namun, dalam praktik menunjukkan dalam bidang-bidang tertentu, dalam memeriksa perkara masih diperlukan adanya suatu keahlian khusus. Dengan melihat keadaan tersebut, eksistensi dari Pasal 7 poin b tentang hakim agung nonkarier masih relevan untuk dipertahankan,” jelasnya.
Meski demikian, kata dia, dalam tataran implementasinya, harus dilakukan secara komprehensif sesuai pesan rasiologisnya. Makna adanya hakim agung nonkarier tersebut adalah kebutuhan MA akan keahliannya berkaitan dengan penyelesaian tugas pokok memutus dan menyelesaikan perkara.
Sebelumnya, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar M. Gultom dan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan Lilik Mulyadi memohonkan uji materi Pasal 6B ayat (2) UU MA yang membolehkan calon hakim agung dari jalur nonkarier. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut tidak tepat karena hal yang menjadi tolak ukur dalam persyaratan profesi hakim bukan semata pendidikan akademisnya, tetapi juga pengalaman dan kompetensi hakim dalam mengadili serta memutus perkara di persidangan.
Selain itu, Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 7 huruf a angka 4 dan angka 6 UU MA yang mengatur syarat hakim karier menjadi hakim agung dari segi usia dan pengalaman bersifat diskriminatif jika dibandingkan dengan syarat untuk hakim nonkarier. Pada ketentuan hakim karier, usia minimum hakim adalah 45 tahun dengan pengalaman menjadi hakim selama 20 tahun, termasuk pengalaman menjadi hakim tinggi minimal 3 tahun. Sementara, syarat hakim nonkarier pada Pasal 7 huruf b UU MA hanya menyatakan berpengalaman di bidang hukum selama 20 tahun tanpa dirinci secara tegas keahlian hukum di bidang hukum tertentu.
Selanjutnya, menurut Pemohon, ketentuan Pasal 7 huruf b angka 1, angka 2, angka 3 dan angka 4 UU MA telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dan berpotensi menutup karier para hakim dari jalur karier yang puncak kariernya menjadi hakim agung. Selain itu, Pemohon juga menguji materi ketentuan periodisasi hakim konstitusi yang tertuang dalam UU MK. Pemohon menerangkan bahwa pembatasan masa jabatan bagi Ketua dan Wakil Ketua MK yang hanya 2 tahun 6 bulan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) UU MK, bertentangan dengan UUD 1945 karena akan menghambat karier bagi hakim konstitusi yang berasal dari unsur Mahkamah Agung.
Berikutnya, Pemohon mempersoalkan ketentuan Pasal 22 UU MK mengenai pembatasan masa jabatan hakim konstitusi yang dinilai merugikan. Seharusnya, menurut Pemohon, sebagaimana hakim agung, tidak ada periodisasi jabatan bagi hakim konstitusi. (ars/lul)