Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Kamis (4/8) di ruang sidang pleno MK. Putusan Nomor 29/PUU-XIII/2015 tersebut menegaskan bahwa aturan kepemilikan minimal pesawat udara yang harus dimiliki pengusaha penerbangan tidak diskriminatif.
“Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim konstitusi lainnya saat mengucapkan amar putusan.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah mengkritisi makna diskriminasi yang didalilkan Pemohon. Dalam permohonannya, Pemohon mempersoalkan jumlah kepemilikan minimum unit pesawat pelaku usaha penerbangan, sedangkan aturan yang serupa tidak terdapat dalam usaha moda transportasi lain, misalnya usaha pelayaran. Hal tersebut, menurut Pemohon, merupakan aturan yang diskriminatif.
Diskriminasi, mengacu pada Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, merupakan pembatasan, pelecehan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan potik yang berakibat pengurangan HAM dan kebebasan dasar. Dengan demikian, objek diskriminasi adalah orang, sehingga tidak tepat apabila Pemohon membandingkan moda transportasi udara dan moda transportasi laut.
Lebih lanjut, Mahkamah menegaskan, hukum dikatakan adil apabila seseorang diperlakukan sama untuk hal yang sama dan diperlakukan berbeda untuk hal yang memang berbeda. Hal tersebut pun diterapkan dalam dunia penerbangan dan pelayanan yang jelas berbeda. Menurut Mahkamah, berbeda dengan pelayaran, penerbangan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang memiliki karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang anda, serta memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal.
“Dunia penerbangan itu spesifik dan mempunyai karakteristik unik yang tidak bisa dipersamakan dengan model transportasi lain. Sehingga menuntut adanya pengaturan khusus atau istilahnya lex specialis derogate legi generalis,” jelas Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan pertimbangan hukum.
Sebelumnya, Sigit Sudarmadji, Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Perhubungan merasa dirugikan oleh berlakunya Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Penerbangan. Ketentuan tersebut menurut Pemohon membuat dirinya terhambat untuk mendirikan usaha di bidang penerbangan niaga karena mewajibkan pengusaha memiliki unit pesawat dalam jumlah minimum tertentu.
Lainnya, Pemohon memandang aturan ini juga bersifat diskriminatif. Sebab, jika dibandingkan dengan usaha pelayaran atau penerbangan asing, ketentuan tersebut tidak berlaku. (ars/lul)