Ahli Pemohon tidak hadir dalam sidang terakhir Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) serta UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Kamis (19/5).
Sesuai permintaan Pemohon pada sidang sebelumnya yang digelar pada Selasa (12/4), Mahkamah Konstitusi (MK) mengagendakan untuk mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan oleh Pemohon. Sayangnya, ahli yang dijanjikan Pemohon untuk hadir pada persidangan tidak datang.
“Yang Mulia, kami mengalami sedikit kesulitan, ada sedikit hambatan karena harusnya Pemohon yang mengkonsolidasikan para saksi (ahli, red). Namun, ada dua Pemohon materiil yang sementara lagi mengikuti seleksi wawancara, tahap wawancara. Itulah sebabnya kami mengalami kesulitan, kami mohon kiranya kalau Majelis berkenan kami mohon diberikan kesempatan yang terakhir. Namun pada kesempatan ini kami mau serahkan beberapa bukti surat tambahan,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Habel Rumbiak.
Ketua MK, Arief Hidayat yang memimpin persidangan kemudian meminta Pemohon untuk menyerahkan keterangan ahli secara tertulis saja. Arief juga menjelaskan bahwa kekuatan keterangan lisan maupun tulisan sama.
“Nanti keterangan tertulis saja ya. Karena kita sudah dua kali menunggu ternyata Pemohon tidak menghadirkan ahli supaya kita bisa melangkah lebih lanjut, maka tidak perlu ada persidangan,” tegas Arief sembari mengingatkan bahwa kesimpulan harus diserahkan ke Kepaniteraan MK paling lambat tanggal 30 Mei 2016, pukul 14.00 WIB.
Karena Pemerintah juga tidak berencana menghadirkan ahli, Mahkamah memutuskan bahwa sidang kali ini merupakan sidang terakhir untuk perkara yang teregistrasi dengan No. 28/PUU-XIV/2016 itu. Sebelum menutup sidang, Arief menyempatkan untuk mengesahkan bukti-bukti tertulis yang belum disahkan.
Permohonan
Sebelumnya, Mahkamah telah menggelar tiga kali sidang terhadap perkara yang diajukan enam orang warga Provinsi Papua dan Papua Barat yang menggugat ketentuan penentuan unsur pimpinan DPRD provinsi dalam UU MD3. Keenam orang tersebut, yaitu Apolos Paulus Sroyer selaku Kepala Adat Saereri (Pemohon 1), Paulus Agustinus Kafiar (Pemohon 2), Thomas Rumbiak (Pemohon 3), Wati Martha Kogoya selaku Bakal Calon Anggota DPR Provinsi Papua (Pemohon 4), Alfius Rumapuk Bakal Calon Anggota DPRD Provinsi Papua (Pemohon 5), dan Edy Kawab (Pemohon 6).
Para Pemohon mendalilkan bahwa mereka memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 18, Pasal 27, Pasal 28D, dan Pasal 28I UUD 1945 yang mengamanatkan agar setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang sama, yang adil, dan memperoleh kesempatan yang sama untuk ikut serta menjadi pimpinan di unsur pimpinan di DPR Provinsi Papua. Hak konstitusional inilah yang menurut Pemohon telah dilanggar oleh ketentuan penentuan unsur pimpinan DPRD provinsi dalam UU MD3.
Ketentuan tersebut tercantum dalam 9 pasal dalam UU MD3, yaitu Pasal 314 serta Pasal 327 ayat (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), dan (9). Ketentuan serupa juga termaktub dalam Pasal 94 dan Pasal 111 ayat (2), (3), (4), (5), (6), (7), dan (8) UU Pemda. Pada intinya pasal-pasal tersebut memang mengatur mengenai unsur keanggotaan dan pimpinan DPRD provinsi harus berasal dari partai politik. Pemohon menganggap pasal a quo telah menutup ruang bagi anggota DPR provinsi yang berasal dari jalur pengangkatan atau jalur otonomi khusus (otsus) untuk didapuk sebagai pimpinan di DPRD Provinsi Papua dan Papua Barat.
Padahal, Pasal 6 ayat (5) UU Otsus Papua justru memberikan ruang bagi anggota DPR Provinsi Papua untuk berasal dari jalur pengangkatan atau otsus. Pemohon khawatir, bila pasal-pasal yang digugat oleh Pemohon tetap diberlakukan, tidak akan ada anggota DPR Provinsi Papua maupun Papua Barat yang berasal dari jalur pengangkatan dapat menempati unsur pimpinan DPRD provinsi.
Oleh karena itu, Pemohon meminta agar frasa “anggota partai politik peserta pemilihan umum” dalam pasal a quo dinyatakan konstitusional bersyarat. Pada intinya, Pemohon meminta agar pimpinan DPR Provinsi Papua dan Papua Barat dapat diisi oleh anggota DPRD yang diangkat dari unsur masyarakat adat, perempuan, dan agama. (Yusti Nurul Agustin/lul)