Risiko penyakit hewan menular tidak hanya muncul melalui lalu lintas hewan antarnegara. Seiring dengan penyebaran produk hewan di internasional, penyebaran pathogen sebagai mikro organisme yang berbahaya pun dapat menimbulkan penyakit hewan menular.
Hal tersebut disampaikan Bachtiar Moerad, pakar kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada Kamis (12/5) di ruang sidang MK.
Ahli yang dihadirkan Pemerintah itu juga menyatakan peningkatan lalu lintas penerbangan internasional yang sangat tinggi, yakni sekitar 5% setiap tahunnya, juga berpotensi sebagai sarana penularan penyakit hewan menular. “Ini untuk menggambarkan bahwa risiko penyakit hewan menular itu tidak hanya melalui lalu lintas hewan atau pun produk hewan tetapi juga dari penerbangan. Oleh karena patogen atau pun mikro organisme yang berbahaya itu dapat dibawa oleh pesawat terbang,” jelas Bachtiar dalam sidang perkara Nomor 129/PUU-XIV/2016.
Lebih lanjut, Bachtiar mengatakan, bicara penyelenggaraan kesehatan hewan juga harus bicara mengenai otoritas veteriner. Veteriner yang diambil atau diadopsi dari kata veterinary adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hewan, produk hewan, dan penyakit hewan. Sehingga otoritas veteriner adalah kelembagaan pemerintah atau pemerintah daerah yang bertanggung jawab dan memiliki kompetensi dalam penyelenggaraan kesehatan hewan yang berada di level pusat, ada pula di level daerah dari provinsi hingga kabupaten dan kota.
“Otoritas veteriner berwenang mengambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan. Peran veteriner adalah mengamankan hewan dan produk hewan untuk tujuan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan serta peningkatan penyediaan protein yang aman dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia,” papar Bachtiar kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Pentingnya Subsektor Peternakan
Pengamat Ekonomi dan Bisnis Peternakan Arief Daryanto sebagai ahli yang juga dihadirkan Pemerintah menjelaskan bahwa subsektor peternakan mempunyai peran sangat penting dalam perekonomian Indonesia, baik dalam pembentukan produk domestik bruto dan penyerapan tenaga kerja, maupun dalam penyediaan bahan baku industri. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik, kontribusi produk domestik bruto (PDB) subsektor peternakan terhadap sektor pertanian pada 2014 sebesar 11,84%. Sedangkan kontribusi terhadap besaran PDB nasional mencapai 1,58%.
“Dalam penyerapan tenaga kerja subsektor peternakan juga mempunyai peranan yang sangat strategis. Menurut hasil sensus pertanian 2013, dari 54,07 juta rumah tangga pertanian di pedesaan dan perkotaan, sekitar 23,98% merupakan rumah tangga usaha peternakan,” kata Arief.
Saat ini produksi daging sapi dalam negeri baru mencukupi sekitar 65% dari kebutuhan nasional, sedangkan produksi susu dalam negeri baru mencapai 20% dari kebutuhan nasional. Produksi daging ayam dan telur saat ini telah mencapai tahap swasembada. Sapi potong mempunyai peran penting sebagai penghasil daging untuk memenuhi kebutuhan nutrisi asal ternak, di samping juga menyerap tenaga kerja, terutama di pedesaan.
“Permintaan terhadap daging sapi selalu meningkat di masa yang akan datang karena beberapa faktor utama, seperti pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan, makin banyak penduduk kelas menengah, urbanisasi, perubahan lifestyle, harapan hidup semakin besar, dan bertambahnya penduduk ke usia tua. Juga, permintaan terhadap makanan siap masak dan siap santap semakin meningkat. Ditambah semakin banyak pasar swayalan, hypermarket yang menawarkan beragam komoditas dan produk olahan daging sapi. Selain itu, daging sapi terus memiliki peran sebagai penyedia protein hewani seiring meningkatnya kesadaran pentingnya mengonsumsi nutrisi asal ternak,” urai Arief.
Permohonan diajukan oleh sejumlah dokter hewan, peternak, dan pedangang hasil ternak, yakni Teguh Boediyana, Mangku Sitepu, Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha, Rachmat Pambudy, Mutowif, dan Dedi Setiadi. Pemohon merasa dirugikan dan/atau potensial dirugikan hak-hak konstitusionalnya akibat pemberlakuan zona base di Indonesia berdasarkan ketentuan dalam Pasal 36C ayat (1), Pasal 36C ayat (3), Pasal 36D ayat (1), dan Pasal 36E ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Kerugian konstitusional yang dimaksud adalah karena prinsip minimum security dengan pemberlakuan zona tersebut mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati.
Pemohon menilai UU Peternakan dan Kesehatan Hewan justru semakin memperluas kebijakan importasi ternak di tengah ketergantungan yang tinggi pada impor ternak dan produk ternak. Pemohon berpendapat, seharusnya pemerintah berbenah memperbaiki industri peternakan dan peternakan dalam negeri, karena pemberlakuan sistem zona tersebut merugikan hak konstitusional Pemohon untuk hidup sehat, sejahtera, aman, dan nyaman dari bahaya penyakit menular dari hewan ataupun produk hewan yang dibawa karena proses impor dari zona yang tidak aman. (Nano Tresna Arfana/lul)